Milad Muhammadiyah ke-113: Kue Besar, Lilin Terang, Tapi Dapur Guru Masih Gelap
![]() |
Ilustrasi oleh AI |
Tahun 2025 ini Muhammadiyah merayakan umur yang tidak lagi muda: 113 tahun. Di usia itu, orang biasanya sudah jadi kiai sepuh yang banyak murid, atau nenek bijak yang hafal nama seluruh cucu. Muhammadiyah pun demikian: organisasi tua yang sudah melahirkan sekolah, kampus, rumah sakit, panti, dan gagasan-gagasan besar yang kadang terlalu besar untuk dunia nyata.
Tema milad tahun ini terdengar megah:
Memajukan Kesejahteraan Bangsa.”
Sebuah tema yang lebih mirip pidato calon presiden awal masa kampanye, lengkap dengan cita-cita membahagiakan lahir batin seluruh rakyat Indonesia. Plus pesan-pesan soal ekonomi, lingkungan, dan kemanusiaan. Multidimensi. Futuristik. Elegan.
Tapi, di balik kemegahan tema itu, ada satu kelompok yang seperti selalu ketinggalan oleh kecepatan gerak persyarikatan: guru Muhammadiyah.
Selamat Milad? Iya.
Tapi apakah guru ikut sejahtera? Silakan cek dompet masing-masing.
Hari Guru Sudah Lewat, Tapi Rasa-rasanya… Tetap Sama
Beberapa hari sebelum Milad, guru Indonesia sudah diberi panggung lewat tema nasional:
Guru Hebat, Indonesia Kuat.”
Muhammadiyah menambahkan tagline internal:
Guru Muhammadiyah Profesional Sejahtera.”
Profesional? Banyak guru Muhammadiyah memang sangat profesional.
Sejahtera?
Nah, ini yang agak mirip iklan shampoo: yang disampaikan tidak selalu sesuai realita rambut rakyat jelata.
Guru Muhammadiyah di banyak tempat masih menghadapi situasi “yang penting bisa bayar listrik.” Tidak sedikit yang gajinya kalah dari barista kopi kekinian, kalah jauh dari admin online shop, bahkan kalah telak dari driver ojol yang narik sehari penuh.
Apakah guru mengeluh? Tidak.
Apakah guru protes? Jarang.
Apakah guru sabar? Sudah level wali.
Apakah guru makan idealisme? Tidak bisa. Warteg tidak menerima itu sebagai alat tukar.
Masalahnya: Kesejahteraan Guru Selalu Terdengar… Tapi Tidak Terlihat
Mari kita jujur, Kesejahteraan guru Muhammadiyah itu seperti komet Halley—sering disebut, sering diharapkan, tapi tidak pernah benar-benar terlihat.
Di forum-forum resmi, wacana itu muncul.
Dalam SK-SK majelis, kata “sejahtera” ada.
Dalam pidato-pidato resmi, frase itu terdengar mulia.
Tapi kalau ditanya apa terobosannya?
Hening.
Memang ada sekolah Muhammadiyah yang maju luar biasa—maju sekali, sampai gurunya bergaji layak, bahkan lebih dari ASN. Itu luar biasa. Prestasi. Inspirasi.
Tapi bagaimana dengan ribuan sekolah lainnya?
Yang muridnya cuma dua kelas.
Yang gedungnya sederhana.
Yang SPP-nya kalah dari harga seblak level pedas 3.
Dan paling terasa, guru-guru di sekolah yang belum maju ini seperti hidup di dimensi lain yang tidak pernah tersentuh kebijakan struktural.
Majelis Dikdasmen: Terobosan atau Terobosan Fotonya Saja?
Pertanyaan paling penting, Apa langkah nyata Majelis Dikdasmen Pusat sampai Daerah untuk kesejahteraan guru?
Di atas kertas, banyak.
Di lapangan, yang terasa… entah.
Kadang majelis terlihat aktif sekali saat menjelang akreditasi, penerbitan SK, rapat koordinasi, dan tentu saja saat foto bersama. Tapi ketika bicara soal standar gaji guru, bantuan operasional internal, atau skema pendampingan sekolah lemah—langkahnya tampak pelan, atau tidak melangkah sama sekali.
Guru Muhammadiyah sering berada di garda depan, tetapi rasa diperhatikan dari belakang sangat minim.
Majelis seolah sibuk menjadi manajer spiritual, bukan manajer kelembagaan.
Kalau kesejahteraan guru hanya diserahkan ke masing-masing sekolah tanpa dukungan sistem, itu ibarat menyuruh guru berenang tapi kolamnya tidak ada.
Apa yang Seharusnya Jadi Terobosan Muhammadiyah?
Mari bicara konkret. Muhammadiyah itu bisa. Sangat bisa.
Amal usahanya besar. Jaringannya kuat. Sistemnya tertata.
Kalau benar-benar ingin menyejahterakan guru, berikut langkah-langkah yang realistis, bukan sekadar wacana:
1. Standar Gaji Minimal Nasional untuk Guru Muhammadiyah
Bukan himbauan, tapi keputusan wajib.
Dikeluarkan resmi, dipantau resmi, dijalankan resmi.
Guru tidak boleh digaji asal-asalan hanya karena sekolahnya “belum maju.”
2. Skema Subsidi Silang dari Amal Usaha Besar
UMY, UMM, PKU Muhammadiyah, RS besar-besar—semua bisa menyisihkan porsi kecil untuk membentuk dana kesejahteraan guru.
Jangankan nasional, PWM saja bisa membangun skema itu kalau serius.
3. Dana Abadi Guru Muhammadiyah
Disiapkan dari dana wakaf, infak, atau keuntungan amal usaha besar.
Sifatnya jangka panjang, dan hasil pengembangannya untuk kesejahteraan guru.
4. Pendampingan Profesional untuk Sekolah Lemah
Bukan kunjungan seremonial, bukan workshop motivasi.
Pendampingan ala corporate consulting: manajemen, branding, struktur keuangan, strategi pertumbuhan.
5. Sertifikasi Mutu Guru Muhammadiyah
Bukan sekadar workshop tiga jam dengan sertifikat PDF.
Tapi proses sistematis untuk menaikkan kualitas dan—ini penting—kesejahteraan.
6. Keterbukaan Keuangan Sekolah
Agar manajemen sekolah transparan, sehingga beban tidak selalu lari ke guru.
Guru Muhammadiyah Butuh Bukti, Bukan Janji
Tidak ada guru yang meminta kaya raya.
Mereka hanya ingin hidup layak, damai, dan dihargai.
Guru Muhammadiyah selama ini dikenal sebagai sosok yang:
- Mengajar dengan hati
- Mengabdi tanpa banyak syarat
- Mengelola kelas dengan kesabaran tingkat langit
- Menjadi penggerak nilai-nilai persyarikatan
Tapi mereka bukan malaikat.
Mereka tetap manusia.
Mereka butuh makan.
Mereka punya anak sekolah.
Mereka bayar listrik, beli beras, isi kuota internet.
Sejahtera itu bukan kemewahan. Itu kebutuhan.
Dan Milad 113 Muhammadiyah adalah momen refleksi bagi kita semua:
Gerakan yang ingin memajukan kesejahteraan bangsa tidak boleh mengabaikan kesejahteraan gurunya sendiri.
Pada Akhirnya: Muhammadiyah Bisa, Kalau Muhammadiyah Mau
Muhammadiyah adalah organisasi besar. Potensinya luar biasa.
Di bidang kesehatan, pendidikan, kemanusiaan—pencapaiannya terbukti.
Maka ketika kesejahteraan guru belum tersentuh, itu bukan karena Muhammadiyah tidak mampu.
Tetapi karena belum menomorsatukan itu.
Kalau Muhammadiyah mau, sistem bisa dibuat.
Dan kalau sistem dibuat, guru akan merasakan.
Guru tidak butuh lagi sekadar slogan.
Tidak butuh lagi sekadar tema Milad yang indah.
Tidak butuh lagi sekadar seruan moral.
Guru butuh bukti.
Butuh kebijakan.
Butuh keberpihakan.
Sebab dari tangan merekalah sekolah hidup.
Dari kesabaran merekalah murid tumbuh.
Dari keikhlasan merekalah dakwah berjalan.
Dan dari kesejahteraan merekalah masa depan bangsa benar-benar bisa dicerahkan.
Selamat Milad ke-113 Muhammadiyah.
Semoga tahun ini, lilin besar dirayakan dengan terang di dapur guru—bukan hanya di panggung perayaan.

2. Komentar sensitif akan dihapus
3. Gunakan bahasa yang sopan dan saling menghargai perbedaan pendapat dan sudut pandang