Pendidikan Kita Hanya Membuahkan Jari Jempol?

Table of Contents
Gita Wirjawan

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Izinkan saya, kolumnis paling starstruck di jagat maya wkwkwk, menggebrak meja sedikit setelah mendengar petuah para pendekar pendidikan dan kebijakan di panggung diskusi Gita Wirjawan (youtube).

Ternyata, masalah pendidikan kita bukan cuma soal kurikulum yang ganti-ganti menteri—itu sudah klise—tapi masalahnya lebih fundamental. Jauh lebih pahit dari kopi tanpa gula di pagi hari.

Generasi Jempol dan Fondasi yang Rapuh

Kita hidup di zaman di mana anak muda kita, di seluruh dunia, mengalami penurunan deksteritas karena yang dipakai cuma dua jempol saja. Stephen Chu, pemenang Nobel Fisika, bahkan berhipotesa bahwa ilmuwan masa depan mungkin tidak akan setangkas ilmuwan 200 tahun terakhir. Ironis, bukan? Mau jadi ilmuwan, kok jarinya kaku?

Tapi itu hanya gejala permukaan. Nisa Felicia Faridz dari PSPK (Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan) membeberkan fondasi kita masih rapuh. Hasil PISA 2022 menunjukkan masalah yang itu-itu saja: literasi dan numerasi kita rendah. Literasi dan numerasi ini lho modal utama untuk belajar sepanjang hayat—mau jadi ilmuwan atau mau jadi chef, itu butuh literasi.

Gita Wirjawan dan Tamu Undangan

Angkanya menyedihkan, Gengs. Hanya sekitar 25% saja anak-anak 15 tahun di Indonesia yang bisa mencapai standar minimum literasi. Numerasi? Lebih rendah lagi.

Masalahnya, proses belajar kita masih dilihat seolah-olah tujuannya cuma satu: lulus. Bukan karena rasa ingin tahu, bukan karena penasaran sama ilmu pengetahuan, dan bukan karena ingin menyelesaikan masalah kompleks dunia. Belajar dianggap cuma sampai lulus, seolah-olah setelah kerja, ya sudah, tidak belajar lagi. Growth mindset (pola pikir untuk terus berkembang) anak-anak Indonesia pun relatif rendah.

Pak Gita sampai menyimpulkan, kita ini tidak punya political culture untuk mendorong rasa ingin tahu di kalangan anak-anak.

STEM: Kaput atau Mati Suri?

Kalau Anda berpikir minat anak muda pada teknologi dan sains itu tinggi, minggir dulu. Data di perpustakaan menunjukkan betapa kronisnya kondisi kita. Minat pada Ilmu Sosial, Hukum, dan Ekonomi masing-masing mengisi sekitar 32–33% dari topik buku yang dipinjam.

Lalu, bagaimana dengan ilmu terapan (STEM)? Siapkan tisu. Hanya 0,5%!.

Afu (Andhyta Firsely Utami) bercerita, ketertarikan pada IPA itu masih bisa diakomodasi di SMA, tapi begitu masuk jurusan kuliah, semua lingkungan—orang tua, guru BP—bilang jurusan sosial (ekonomi, hukum) lebih praktikal dan membuka kesempatan kerja.

Ini membawa kita pada pertanyaan filosofis yang menohok: sebenarnya pendidikan tingkat lanjut di Indonesia itu mau mencetak apa? Pekerja, atau individu yang bisa meraih potensi penuh mereka?.

Ki Hajar Dewantara sudah bilang, pendidikan itu untuk menumbuhkan. Anak didik itu seperti tumbuhan; tugas kita memastikan mereka mekar sepenuhnya, bukan mengubah mereka menjadi sesuatu yang bukan mereka.

Pak Gita Wirjawan setuju, kalau kita harus mengulang sistem pendidikan, topik utama yang harus dikedepankan adalah filsafat. Kenapa? Karena filsafat adalah bagaimana kita belajar menginvestigasi kebenaran atau aksioma yang sudah ada.

Mimpi 5 Juta Guru Rp1 Miliar

Nah, di tengah kekacauan struktural ini, muncul ide radikal: Bagaimana kita "karbitin" 3-5 juta guru yang top banget?

Pak Gita, dalam youtube pribadinya melempar hitungan yang bikin mata melotot: Kalau kita gaji 5 juta guru itu Rp1 miliar setahun per orang, totalnya cuma 5 Triliun Rupiah. Anggaran pendidikan kita? Minimum 450 Triliun Rupiah!

"Kalau saya tawarkan 1 miliar ke orang yang tadinya sudah diterima di Google, dia pasti belok, dia bakal ngajar di Sumedang, di SMP digaji 1M setahun," ujar Pak Gita.

Namun, Afu dan Nisa mengingatkan bahwa ini bukan cuma soal duit, tapi soal sistem dan definisi. Saat ini, profesi guru tidak atraktif bagi anak-anak muda berprestasi tinggi.

Afu mengingatkan, kita harus kritis soal definisi "pintar". Kecerdasan akademik (nilai SAT/IQ) punya blind spot. Kita butuh guru yang punya kecerdasan emosional, motivasi mengajar, dan kebahagiaan dari mendidik—bukan hanya yang paling pintar secara nilai.

Lembah Kematian dan Pemimpin Tanpa Nyali

Kenapa ide-ide brilian ini sulit diimplementasikan? Mas Yanuar menjawab dengan lugas: Pemerintah bekerja dengan orientasi output, bukan outcome.

Output itu jumlah sekolah yang dibangun, kelas rusak yang diperbaiki. Outcome itu, seperti kata Pak Gita, menghasilkan satu pemenang Nobel dalam 25 tahun. Karena berpikir output, gambar besar tidak kelihatan.

Ditambah lagi, anggaran kita kaku. Ketika ada pengeluaran riset yang hasilnya tidak segera kelihatan (dan ingat, dalam R&D, 88% invensi mungkin gagal!), itu bisa jadi temuan BPK/BPKP. Ini yang disebut Valley of Death (Lembah Kematian) antara invensi dan inovasi—dan Lembah ini tugasnya pemerintah untuk menjembatani.

Yang paling parah: pendidikan dan riset kita dipolitisasi. Sektor ini harus didepolitisasi dan ditangani oleh profesional.

Mas Yanuar bilang, kita kekurangan pemimpin yang visioner. Agar kita bisa berpikir inovatif seperti Singapura (yang merekrut pemenang Nobel $1 juta per tahun ditambah $20-30 juta untuk riset), kita butuh titik temu optimal antara talenta dan kekuasaan.

Seorang pemimpin visioner harus punya tiga atribut nyata: neuron, hati, dan nyali.

Main Kurang Jauh dan Solusi Radikal (yang Dibenci Sistem)

Pak Gita kemudian menantang: Bagaimana agar anak muda kita bukan hanya cerdas, tapi juga bisa "ngecap" (berkomunikasi fasih) di forum internasional?. Saat ini, kalau dunia mau tahu Asia Tenggara, yang dipanggil Dubes Singapura, bukan Dubes kita, karena mereka dipersepsikan cerdas dan mampu mengartikulasikan kecerdasannya.

Mas Yanuar meringkasnya dengan sindiran halus: "Orang-orang kita ini pintar, tapi mainnya kurang jauh". Kita bangga nulis di jurnal sendiri, di-review sendiri, dipuji-puji sendiri. Kita harus berani perang di jurnal internasional. Kita harus tendang orang-orang kita ke luar, sekolah ke luar, dan berani menulis isu eksternal—tidak melulu soal Indonesia.

Lalu, apa langkah radikalnya?

1. Konsistensi Filosofi: Pemerintah harus berani konsisten melihat pendidikan sebagai Hak Asasi Manusia dan kebutuhan publik, bukan investasi pribadi. Ini butuh pengorbanan politik, karena mengubah paradigma ini akan mengorbankan kelas sosial yang selama ini diuntungkan sistem prestasi terbatas.

2. Debat dan Filosofi Wajib: Afu mengusulkan: wajibkan klub debat di semua sekolah (SMP, SMA). Debat melatih analisis, komunikasi, dan yang terpenting, berempati pada persepsi yang tidak kita setujui. Kedua, wajibkan kelas filosofi, di mana kita boleh mempertanyakan status quo dan semua aksioma yang kita anggap kebenaran hari ini.

3. Sekolah Negeri Gratis Sampai Kuliah: Mas Yanuar menambahkan, PAUD, SD, SMP, SMA, dan kampus negeri harus gratis. Duitnya ada, ini soal visi dan niat politik.

Kesimpulannya, perbaikan pendidikan kita adalah pertarungan antara struktur yang membelenggu dan kebutuhan akan agency (tindakan berani) dari seorang pemimpin. Kita butuh pemimpin dengan neuron, hati, dan nyali.

Kadang-kadang, kata Pak Gita, keemasan sebuah negara itu bukan hasil perencanaan sistematis, tapi serendipity (keberuntungan), seperti munculnya Park Chung-hee di Korea atau Lee Kuan Yew di Singapura.

Maka, untuk mencapai Indonesia Emas 2045, kita tidak hanya harus berupaya keras, tapi juga harus rajin berdoa. Bakar lilin, sembelih kambing, ke sinagog, gereja, ke masjid, tapi juga berupaya.

Semoga keberuntungan segera menghampiri, agar struktur bebal kita bisa dipecahkan oleh pemimpin yang visioner. Sebab, kalau tidak, anak muda kita akan terus terjebak dalam jebakan output birokrasi, dan terus menjadi generasi yang hanya fasih menggunakan dua jempolnya.

Penutup

Pendidikan kita saat ini seperti sebuah smart phone super canggih yang hanya kita gunakan untuk bermain TikTok atau scroll media sosial. Kita punya potensi hardware (anggaran, populasi, kecerdasan dasar), tapi kita tidak punya software filosofis dan operating system politik yang membebaskan kita untuk benar-benar menginvestigasi kebenaran dan menjadi pengguna yang cakap. Kita harus mengubah smartphone itu menjadi laboratorium yang mampu membuat kita bertanya—bukan sekadar alat konsumsi.

Sudut Pandang
Sudut Pandang Menyajikan renungan, inspirasi, dan pandangan tentang Islam, pendidikan, serta makna hidup dari sisi iman dan ilmu. Temukan gagasan segar yang mencerahkan hati dan pikiran.

Post a Comment