Tepat Waktu Tapi Lupa Kemanusiaan

Table of Contents

Ada hal yang lebih ditakuti guru daripada soal ulangan dadakan yaitu datang terlambat.

Satu sampai 5 menit saja lewat dari jam masuk, tiba-tiba reputasi seorang guru yang selama ini rajin, rapi, dan taat berubah jadi si paling tak disiplin.

Yang lebih nyesek, kadang yang menilai itu nggak tahu bahwa sebelum sampai sekolah, kita sudah perang dunia dulu di rumah, hmmm.

Coba bayangkan:

Pagi-pagi anak belum mandi, belum harus disuapin, satu lagi nangis karena nggak mau makan sayur maunya makan telor dadar.

Baru selesai itu, ketika naik kendaraan ditengah jalan mau sampai ke sekolah istri saya, muncul kalimat klasik dari mulut anak saya,

Ayah, mampir Indomaret dulu ya, mau beli ice cream.”

Dan di situ, antara cinta dan waktu, guru harus memilih: jadi orang tua yang sabar atau pegawai yang disiplin.

Kalau kamu punya anak dua, maka berangkat kerja itu bukan sekadar rutinitas — itu misi penyelamatan. hmmm.

Belum sempat sarapan, belum mandi dengan tenang, tapi harus tampil wangi dan senyum di depan kelas jam tujuh kurang lima belas tet sudah ada di masjid ikut tadarus pagi.

Dan begitu terlambat beberapa menit, dan siswa terabaikan karena telat tadi, seolah semua kerja keras dan ketepatan selama setahun langsung dilupakan.

Di sekolah, prestasi sering tertutup oleh satu kesalahan kecil.

Kepala sekolah pun, entah kenapa, kadang lebih hafal siapa yang datang telat daripada siapa yang lembur tanpa dibayar.

Tiap rapat, nasihatnya selalu sama:

Guru itu harus jadi teladan, jangan terlambat!”

Padahal gaji belum sampai UMR. Tapi idealisme harus selevel malaikat.

Mestinya kalau rapat bilang begini:

Besok lusa yang rajin berangkat tepat waktu dan pulang terlambat karena kerjaan saya kasih tambahan uang lembur, gitu, guru akan lebih antusias dengarnya. 

Saya disuruh cari pengasuh anak biar bisa fokus kerja.

Lah, bayarannya aja bisa sejuta setengah buat pengasuh anak.

Kalau gaji pas-pasan, terus hasil kerja cuma buat bayar pengasuh, ya buat apa kerja?

Jadi guru sekarang kayak hidup di paradoks: kerja keras untuk bisa... kerja lagi.

Istri juga kena imbas

Demi suami kelihatan rajin di mata kepala sekolah, dia rela jemput anak di tengah jam ngajarnya sendiri.

Kelas kosong, murid protes, tapi ya mau gimana — kalau suami terlambat, kepala sekolah bisa mecucu.

Dan di sela-sela kesibukannya, istri masih sempat kirim chat:

Capek banget, Yah, habis jemput anak.”

Padahal yang seharusnya dapat penghargaan itu bukan guru teladan, tapi pasangan yang sabar dan nggak menyerah di tengah sistem yang bebal.

Paling parah itu kalau musim hujan

Berangkat dan pulang dalam kondisi kuyup, basah bukan karena semangat, tapi karena langit ikut nangis.

Sampai penitipan jam setengah lima, udah kena overtime charge.

Berangkat pagi-pagi, pulang sore-sore, tapi uangnya segitu-gitu aja.

Tapi kalau datang lima menit telat, kepala sekolah langsung kirim broadcast:

Tolong jangan terlambat lagi ya, Bapak Ibu Guru.”

Tepat waktu itu penting, tapi kalau sampai bikin orang lupa bahwa guru juga manusia, itu bukan disiplin — itu penindasan yang dilembut-lembutkan lewat jargon.

Jadi, lain kali kalau lihat guru datang sedikit terlambat, jangan buru-buru menilai.

Bisa jadi sebelum sampai sekolah, dia sudah ngajar banyak hal:

mengajar anaknya sabar, mengajar dirinya kuat, dan mengajar dunia bahwa hidup nggak sesederhana jam dinding di ruang guru.

Dan buat para kepala sekolah yang budiman,

kadang yang dibutuhkan bawahan bukan ancaman, tapi pengertian. Karena di balik guru yang tampak rajin datang pagi, ada keluarga yang berkorban diam-diam.

Mereka yang menanggung lelah agar “disiplin” kita tetap hidup — meski kadang, harus menelan pahitnya ketidakadilan.

Sudut Pandang
Sudut Pandang Menyajikan renungan, inspirasi, dan pandangan tentang Islam, pendidikan, serta makna hidup dari sisi iman dan ilmu. Temukan gagasan segar yang mencerahkan hati dan pikiran.

2 comments

1. Komentar sesuai isi artikel yang dibaca
2. Komentar sensitif akan dihapus
3. Gunakan bahasa yang sopan dan saling menghargai perbedaan pendapat dan sudut pandang
Comment Author Avatar
October 23, 2025 at 8:47 AM Delete
hahaha...

keren pak, itu sebuah perjuangan dan pilihan bijak dalam memutuskan sesuati.
terkadang rasa kasih kita terhadap buah hati, tetapi sebuah tanggung jawab sebagai pencari nafkah di instansi.
walau akhirnya kita pilih rasa kasih sayang namun secara kita sebagai karyawan dicap tidak disiplin, datang terlambat.
lebih baik diam dan dengarkan saja, tugas dan tanggung jawab terselesaikan.
hehehe
Comment Author Avatar
October 23, 2025 at 4:57 PM Delete
Siap pak ketua