Siapa Sebenarnya yang Punya Otoritas “Ballighu ‘Anni Walau Āyah”?

Table of Contents

Ada satu sabda Nabi yang jadi “mantra universal” para dai zaman modern:

Ballighu ‘annī walau āyah.”

Sampaikan dariku walau satu ayat.”

Kalimat ini sering jadi kartu izin bicara bagi siapa pun yang ingin berdakwah. Dari ustadz kampung sampai influencer hijrah, dari guru ngaji sampai content creator syar’i. Semua merasa punya hak menyampaikan ayat, bahkan kalau baru hafal separuh.

---

Masalahnya, sekarang dakwah bukan lagi sekadar panggilan iman. Ia sudah berubah jadi industri.

Ada paket dakwah plus umroh, ada merchandise islami, bahkan ada podcast dakwah lengkap dengan jingle dan lighting profesional.

Bukan salah sih. Zaman memang berubah.

Tapi kadang jadi lucu ketika orang yang baru ikut kajian tiga kali sudah bikin “kajian online rutin”, sementara guru agama yang sudah ngajar 15 tahun tetap setia di kelas, menulis di papan tulis, dan ngoreksi tugas dan ulangan anak-anak.

Yang satu pakai mic wireless, yang satu pakai spidol refill.

Yang satu viral di YouTube, yang satu cuma terkenal di ruang guru.

Padahal, kalau dibanding isi kepalanya, yang di ruang guru itu bisa jadi jauh lebih penuh kitab, tapi sayangnya kalah “rame”.

---

Fenomena ini mirip dunia stand up comedy — bukan siapa yang paling lucu yang naik, tapi siapa yang paling bisa nguasai panggung.

Dalam dakwah juga begitu: kadang bukan siapa yang paling paham, tapi siapa yang paling percaya diri ngomong di depan kamera.

Sampai-sampai orang lupa, bahwa “sampaikan walau satu ayat” itu bukan berarti asal sampaikan walau belum paham ayatnya.

Sahabat Nabi dulu menyampaikan ayat karena sudah belajar langsung dari sumbernya, bukan dari shorts satu menit di TikTok.

Mereka memahami makna, sebab, konteks, dan dampak ayat yang disampaikan.

Artinya: otoritas “ballighu ‘annī walau āyah” bukan di lidah yang fasih, tapi di hati yang paham.

---

Tapi kita juga tidak bisa menutup mata: banyak orang yang memang punya bakat komunikasi luar biasa.

Public speaking-nya top, suaranya renyah, ekspresinya hidup — cocok banget buat ceramah di hadapan massa.

Namun, kalau ilmu belum kokoh, ceramah bisa berubah jadi stand up religi, banyak ketawanya, minim dalilnya.

Yang penting audiens terhibur, urusan tafsir belakangan.

Di sisi lain, para guru agama di sekolah seringkali malah merasa “kalah keren”.

Mereka lebih fokus ngajar, ngurus RPP / Modul atau pol-pol nya jadi imam magrib di mushola kampung.

Padahal, merekalah sebenarnya garda depan dakwah sunyi — yang tidak terekam kamera, tapi menanam nilai setiap hari di dada murid-muridnya.

---

Jadi, siapa sebenarnya yang punya otoritas “ballighu ‘annī walau āyah”?

Jawabannya sederhana tapi berat: yang tahu apa yang dia sampaikan, dan menyampaikannya dengan niat yang bersih.

Bukan yang paling viral, bukan yang paling keras, tapi yang paling benar dan amanah.

Karena menyampaikan ayat bukan kompetisi engagement, tapi tanggung jawab ke langit.

Kalau salah bicara, bisa viral di bumi tapi malu di akhirat.

---

Dakwah itu bukan soal seberapa luas panggungmu, tapi seberapa dalam pemahamanmu.

Boleh kamu berdiri di atas panggung dengan mic wireless, boleh juga di depan papan tulis dengan spidol hitam — selama niatnya sama: menyampaikan kebenaran dengan ilmu.

Dan mungkin, kalau Rasulullah hidup di era media sosial, beliau akan bilang:

Sampaikan dariku walau satu ayat… tapi pastikan dulu, kamu tahu maksud ayatnya, bukan cuma caption-nya.”

---

The end, Kadang, yang paling paham agama bukan yang paling banyak bicara di depan kamera, tapi yang diam-diam menulis nilai di hati muridnya setiap hari.

Yang satu mengajar untuk tayangan, yang satu mengajar untuk kehidupan.

Dan antara keduanya, barangkali Allah lebih melihat ke niat, bukan ke followers count.


Sudut Pandang
Sudut Pandang Menyajikan renungan, inspirasi, dan pandangan tentang Islam, pendidikan, serta makna hidup dari sisi iman dan ilmu. Temukan gagasan segar yang mencerahkan hati dan pikiran.

Post a Comment