PSTS: 1 Soal 1 Menit, Anak Kita Mau Jadi Mesin Cepat Saji?
Senin, 22 September 2025, dalam workshop Peningkatan Kompetensi Guru dalam membuat soal Hots, Pak Amin Muslih dengan mantap bilang:
“Satu soal satu menit. Anak harus dibiasakan seperti itu. Kita lihat anak kita kalau mengerjakan cepat sekali. Jadi jangan disamakan tes kita zaman dulu. Ini untuk kebaikan anak kita, bukan untuk kita sebagai guru.”
Nah, maksudnya ini bukan soal uraian. Tapi soal pilihan ganda, yang jumlahnya 35–50. Jadi logikanya, anak diberi waktu 35–50 menit untuk pilgan, ditambah waktu ekstra buat 5 soal uraian. Bu Dewi, bagian kurikulum, menambahkan bahwa kebijakan ini akan diuji coba dulu di ulangan harian, supaya anak terbiasa.
Sekilas terdengar keren: melatih anak biar cekatan, nggak kelamaan mikir, efisien. Tapi, mari kita jujur: apa kita sedang mendidik manusia, atau sedang melatih stopwatch hidup?
Kecepatan vs Pemahaman
Menurut Journal of Educational Psychology, kecepatan menjawab soal memang bisa menunjukkan ketangkasan, tapi tidak selalu berbanding lurus dengan pemahaman yang mendalam¹. Anak yang lambat menjawab bukan berarti bodoh—kadang justru mereka lebih teliti. Jadi kalau dipaksa “1 soal 1 menit,” jangan-jangan anak malah asal pilih jawaban, bukan karena paham, tapi karena takut kehabisan waktu.
Literasi Kita Masih Payah
UNESCO mencatat, orang Indonesia rata-rata membaca 15–59 menit per hari, dan kebanyakan hanya konten digital ringan². Kalau anak dipaksa menyelesaikan soal dengan cepat, apakah itu melatih literasi? Atau malah makin menanamkan budaya “asal baca asal jawab”?
Apalagi, Kurikulum Merdeka sekarang menekankan higher order thinking skills (HOTS)—analisis, evaluasi, mencipta³. Lah, HOTS ini musuhnya terburu-buru. Beda sama main Mobile Legends yang kalau telat satu detik bisa “wipe out.”
Kehidupan Nyata Bukan Pilgan
Pak Amin benar, dunia sekarang serba cepat. Tapi jangan lupa, dunia nyata itu lebih sering menuntut ketelitian ketimbang kecepatan. Dokter nggak boleh mendiagnosis pasien dengan logika “1 menit 1 penyakit.” Hakim nggak bisa memutus perkara dalam “1 menit 1 vonis.” Bahkan tukang sate pun butuh waktu lebih dari satu menit buat memastikan dagingnya matang merata.
Kalau pendidikan cuma menekankan kecepatan, anak kita bisa jadi generasi “jago tebak pilihan ganda,” tapi gagap saat ditanya “Kenapa jawabannya itu?”
Jadi Bagaimana?
Menurut saya, pendekatan ini boleh dicoba, tapi jangan jadi dogma. Boleh untuk melatih efisiensi di soal-soal faktual. Tapi untuk soal analisis, beri waktu lebih. Biarkan anak tumbuh jadi generasi yang bisa berpikir cepat dan dalam.
Karena kalau semua dipaksa cepat, kita hanya melahirkan manusia cepat saji: praktis, instan, tapi belum tentu sehat untuk otaknya.
Karena pada akhirnya, tujuan pendidikan bukan sekadar melatih anak jadi cepat menjawab soal, tapi membiasakan mereka berpikir dengan tepat. Cepat itu penting, tapi ketepatan jauh lebih bermakna. Jadi, mungkin alih-alih sekadar mengejar “1 soal 1 menit,” kita perlu mengejar “1 soal, 1 pemahaman.” Biar anak-anak kita bukan cuma bisa mengisi lembar jawaban, tapi juga siap menghadapi soal-soal kehidupan yang jauh lebih rumit daripada sekadar pilihan A, B, C, atau D.
Sumber:
1. Anderson, J. R., & Fincham, J. M. (2021). The relation between response time and learning outcomes: Insights from cognitive psychology. Journal of Educational Psychology, 113(5), 973–988.
2. UNESCO Institute for Statistics (2023). Reading Habits in Southeast Asia: A Comparative Report. Paris: UNESCO.
3. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (2022). Panduan Implementasi Kurikulum Merdeka. Jakarta: Kemendikbudristek.
4. Workshop: Peningkatan Kompetensi Guru untuk Memperkuat Literasi dalam Pembuatan Soal Hots, senin (22/9/2025).
Post a Comment
2. Komentar sensitif akan dihapus
3. Gunakan bahasa yang sopan dan saling menghargai perbedaan pendapat dan sudut pandang