Nikah Siri: Antara Kesucian Ibadah dan Bayang-Bayang Ketidakadilan
Di sebuah sore yang teduh, seorang teman perempuan datang dengan mata sembab. Ia baru saja “dinikahi,” tapi bukan di KUA, bukan pula dengan pesta kecil. Cukup dengan dua saksi, wali, dan lafaz ijab qabul.
Semuanya sah secara agama, katanya. Tapi tak ada catatan negara. Tak ada buku nikah. Ia menikah siri.
Dan di titik itu, saya terdiam lama.
Apakah ini bentuk kesalehan, atau justru bentuk pelarian?
Nikah Siri dan Keabsahan dalam Syariat
Secara fikih, nikah siri—yang memenuhi rukun dan syarat pernikahan (ada wali, dua saksi, ijab qabul, dan calon suami istri)—sah secara agama.
Rasulullah ﷺ bersabda:
لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ
“Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil.”
(HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
Dengan syarat ini, ulama klasik seperti Imam Asy-Syafi‘i dalam Al-Umm menegaskan bahwa nikah tanpa saksi adalah batal, tapi nikah tanpa pencatatan (karena pada masa itu belum ada sistem administrasi negara) tetap sah.
Namun, di masa modern, makna “saksi” meluas — bukan hanya dua orang yang hadir di tempat, tapi juga pencatatan resmi sebagai bentuk perlindungan sosial dan hukum.
Pandangan Al-Qur’an: Kejelasan, Bukan Kerahasiaan
Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
“Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad (perjanjian) itu.” (QS. Al-Mā’idah [5]: 1)
Ayat ini bukan hanya tentang kontrak bisnis, tapi juga mencakup akad nikah, yang merupakan perjanjian suci (mīthāqan ghalīzhan).
Imam Al-Qurthubi dalam Tafsir Al-Jāmi‘ li Ahkām al-Qur’an menafsirkan bahwa akad nikah harus memiliki kejelasan (izhār) agar tidak menimbulkan fitnah.
Artinya, pernikahan yang disembunyikan dari masyarakat justru bertentangan dengan semangat keterbukaan yang diajarkan Islam.
Rujukan Ulama Modern: Antara Legalitas dan Moralitas
Dr. Wahbah Az-Zuhaili dalam Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu menyatakan bahwa nikah siri memang sah jika syarat fikih terpenuhi, tetapi tidak maslahat jika menimbulkan mudarat sosial — misalnya istri tidak mendapat hak waris, anak tidak bisa diakui, dan suami bisa lepas tanggung jawab dengan mudah.
Begitu juga Prof. Quraish Shihab dalam Wawasan Al-Qur’an menjelaskan bahwa:
Pernikahan dalam Islam bukan hanya soal sah atau tidak sah, tapi soal tanggung jawab moral dan sosial.”
Dengan kata lain, nikah siri mungkin suci di atas kertas agama, tapi bisa menjadi zaliman jika menelantarkan hak pihak lain.
Ketika Kesucian Disembunyikan, Lalu Apa yang Suci?
Sebagai penulis, saya tak menolak nikah siri. Ada kasus-kasus di mana ia menjadi jalan darurat—seperti untuk melindungi perempuan dari zina, atau kondisi administratif yang rumit.
Namun, saya juga melihat realitas yang getir: banyak perempuan disakiti atas nama “siri.” Mereka dijanjikan surga, tapi ditinggalkan tanpa surat.
Dalam Ihya’ Ulumiddin, Imam Al-Ghazali menulis,
Setiap amal yang tujuannya baik tapi caranya batil, maka ia bukan kebaikan sejati.”
Maka jika nikah siri dijadikan topeng untuk berselingkuh, untuk poligami tanpa tanggung jawab, atau untuk menutupi aib sosial, maka ia bukan lagi ibadah — tapi penyelewengan makna sakinah mawaddah wa rahmah.
Menikah Itu Terang, Bukan Tersembunyi
Islam mengajarkan agar pernikahan diumumkan. Rasulullah ﷺ bersabda:
أَعْلِنُوا النِّكَاحَ وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ بِالدُّفُوفِ
“Umumkanlah pernikahan dan tabuhlah rebana untuknya.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Hadis ini menegaskan: pernikahan adalah sesuatu yang harus transparan, bukan dirahasiakan. Karena rahasia sering kali menjadi tempat subur bagi ketidakadilan tumbuh.
Antara Cinta dan Keterbukaan
Nikah siri berada di wilayah abu-abu — sah, tapi rawan salah; halal, tapi mudah disalahgunakan.
Islam tidak sekadar menilai akadnya, tapi juga hikmahnya.
Pernikahan, sejatinya, adalah ruang kejujuran.
Jika cinta harus disembunyikan, mungkin yang disembunyikan bukan cinta, tapi kesalahan.
Jadi, nikahlah dengan niat baik, tapi jangan sembunyikan niat baikmu dari cahaya.
Karena cinta yang benar, tidak takut disaksikan dunia — sebab ia sudah disaksikan oleh Allah.

2. Komentar sensitif akan dihapus
3. Gunakan bahasa yang sopan dan saling menghargai perbedaan pendapat dan sudut pandang