Iman Lemah, Pikiran Pendek, dan Jalan Pintas Bunuh Diri?
Ada hal yang sering luput dari pembicaraan soal bunuh diri: ini bukan cuma soal mental yang rapuh, tapi juga iman yang ambruk. Bukan hanya kehilangan semangat hidup, tapi kehilangan arah untuk pulang.
Karena begini — orang dengan iman yang lemah itu bahaya. Kalau nggak bunuh diri, ya bisa saja membunuh orang lain. Kadang bukan dengan pisau, tapi dengan lidah. Dengan kata-kata yang menusuk, dengan komentar yang pura-pura lucu tapi sebenarnya racun. Kadang juga lewat “candaan grup” yang katanya iseng, tapi bikin dada orang lain sesak sampai nggak bisa napas tenang.
Dan ketika korban akhirnya benar-benar menyerah, orang-orang yang dulu menertawakannya justru berbalik jadi malaikat komentar, menulis “Semoga husnul khatimah” di kolom berita. Ironi paling pahit di negeri serba digital ini: kita ikut mendorong seseorang ke jurang, lalu pura-pura kaget saat dia jatuh.
Timothy dan Luka Bernama Bullying Kampus
Lihatlah kasus Timothy Anugerah Saputra, mahasiswa FISIP Universitas Udayana, Bali. Ia ditemukan meninggal di lingkungan kampus pada pertengahan Oktober 2025.
Belakangan muncul dugaan bahwa Timothy mengakhiri hidupnya setelah mengalami perundungan oleh sesama mahasiswa. Aktivis yang dulu vokal dan cerdas itu justru ditikam oleh sistem sosial yang dingin — oleh candaan, sindiran.
Lebih menyakitkan lagi, setelah ia meninggal, muncul tangkapan layar grup WhatsApp yang malah menghina dan menertawakannya. Ini bukan sekadar kurang empati — ini bukti bahwa sebagian manusia sudah kehilangan kemanusiaan.
Mahasiswi UNS dan Derita yang Tak Terdengar
Beberapa bulan sebelumnya, ada Devitasari Anugraeni, mahasiswi UNS yang melompat dari Jembatan Jurug ke Sungai Bengawan Solo. Ia dikenal pendiam, sudah menjalani konseling kampus, bahkan direkomendasikan ke psikiater. Tapi rasa sepi kadang lebih dalam dari diagnosis medis.
Masalahnya bukan semata pada bipolar atau depresi — tapi pada lingkungan yang gagal mendengar.
Pada teman-teman yang sibuk menilai, bukan memahami.
Pada iman yang lemah, yang membuat seseorang percaya bahwa mati adalah satu-satunya cara agar rasa sakit berhenti.
Dan Kasus-Kasus Serupa yang Terus Terjadi
Bukan hanya Timothy dan Devitasari.
Tahun 2024, seorang mahasiswa di Bandung ditemukan gantung diri karena tekanan akademik dan rasa kesepian.
Tahun yang sama, siswi SMA di Bekasi menulis “Aku capek pura-pura kuat” sebelum mengakhiri hidupnya.
Dan di media sosial, setiap minggu ada saja kabar tentang orang yang menyerah karena dibully, dicaci, atau diabaikan.
Ini semua bukan sekadar angka statistik. Ini adalah alarm bahwa iman dan empati kita sedang darurat.
Masalahnya, Kita Jarang Bicara Soal Iman
Iman yang lemah bukan cuma soal nggak rajin salat atau jarang ngaji.
Iman yang lemah adalah ketika kita tidak percaya bahwa hidup masih punya makna.
Ketika kita lebih percaya pada keputusasaan daripada pertolongan Tuhan.
Dan ketika kita lebih memilih diam saat melihat orang lain disakiti, karena takut dibilang ikut campur.
Jadi jangan salah, iman yang lemah bukan cuma menghancurkan diri sendiri, tapi juga bisa membunuh orang lain — entah secara langsung, atau lewat candaan dan komentar yang menusuk tanpa pikir panjang.
Kalau Ada Masalah, Cerita. Jangan Simpan Sendiri.
Masalah hidup memang berat. Tapi tidak ada satu pun masalah yang lebih berat dari kehilangan iman.
Kalau kamu merasa gelap, jangan matikan hidupmu. Matikan dulu handphonemu, lalu bicara dengan Tuhan.
Cerita dengan orang yang kamu percaya. Karena sering kali yang kita butuhkan bukan mati, tapi didengarkan.
Iman Bukan Sekadar Keyakinan, Tapi Daya Tahan
Iman bukan sekadar hafal ayat, tapi kemampuan untuk bertahan saat dunia terasa runtuh.
Dan kalau kamu masih bisa membaca tulisan ini, berarti Tuhan masih memberimu waktu untuk memperbaiki segalanya — untuk menangis, memeluk diri sendiri, dan berkata:
Aku belum selesai.”
Dan untuk kalian yang suka bilang “cuma bercanda,” ingatlah — dari mulutmu bisa lahir candaan yang membunuh iman orang lain.
Dan dari iman yang lemah, bisa lahir tragedi baru yang kita ratapi sambil mengetik “Innalillahi” di kolom komentar.
Post a Comment
2. Komentar sensitif akan dihapus
3. Gunakan bahasa yang sopan dan saling menghargai perbedaan pendapat dan sudut pandang