Begini Seharusnya Proses Pembelajaran Mendalam Berjalan

Table of Contents

Belakangan ini, istilah Deep Learning ramai dibicarakan, seringkali dikaitkan dengan kecanggihan teknologi dan Artificial Intelligence (AI). Namun, dalam sebuah kuliah umum yang mencerahkan, narasi tentang pembelajaran mendalam ini dibawa kembali ke esensinya: bukan soal algoritma canggih, melainkan tentang jiwa pendidikan itu sendiri.

Ternyata, gagasan Deep Approach dalam belajar bukanlah konsep yang lahir kemarin sore. Ia telah muncul sejak pertengahan tahun 1970-an, berakar kuat pada aliran Konstruktivis dan Teori Pemrosesan Informasi—khususnya pada konsep Deep Level Processing of Information. Kuncinya terletak pada kedalaman pengolahan, yang diawali dengan gerbang utama bernama perhatian (attention). Inilah sumber daya mental yang bisa kita alokasikan, yang mampu melibatkan seluruh indra, otak, pengalaman, dan pengetahuan kita terdahulu dalam satu proses yang utuh.

Belajar: Sebuah Transformasi, Bukan Transfer

Lantas, apa pembeda utamanya? Ini adalah pergeseran fokus dari transfer pengetahuan menjadi transformasi. Pembelajaran yang dangkal (surface learning) hanya menghasilkan reproduksi. Murid tahu apa yang harus dihafal, tetapi tidak mengerti mengapa ia harus mempelajarinya—ia gagal menemukan makna (meaning). Ibarat menjawab soal ujian, fokusnya hanya pada kebenaran faktual tanpa mengaitkannya dengan kegunaan di dunia nyata.

Pembelajaran mendalam adalah tentang menuntut pertanggungjawaban nalar. Kita didorong untuk beralih dari Declarative Knowledge (sekadar fakta) menuju Procedural Knowledge (pengetahuan tentang cara), yang lahir dari fakta-fakta yang memiliki makna kuat (meaningful fact).

Sebagai contoh yang cerdas, kita tidak hanya harus tahu luas segitiga, tetapi juga harus bisa menggunakan rumus tersebut untuk menghitung atap gedung. Kita didorong untuk menemukan insight dan kegembiraan (joy) ketika berhasil mengkontekstualisasikan ilmu.

Tiga Pilar Jiwa Pendidikan

Dalam konteks transformasi pendidikan, Pendekatan Pembelajaran Mendalam berdiri di atas tiga pilar utama yang tak terpisahkan: Mindful, Meaningful, dan Joyful.

1. Mindful (Kesadaran dan Penghormatan):
Pilar ini menuntut kesadaran penuh dalam proses belajar. Lebih penting lagi, ia mendasari prinsip memuliakan manusia. Setiap peserta didik adalah individu unik yang tidak boleh diabaikan. 

Kita harus meninggalkan kecenderungan mengajar yang hanya berfokus pada siswa terpintar atau yang paling lambat, sementara mengabaikan sisanya. Mindful juga berarti metakognisi; siswa harus mengerti bagaimana cara terbaik mempelajari subjek tertentu—karena cara menghafal sejarah tentu berbeda dengan cara memahami rumus matematika.

2. Meaningful (Bermakna dan Bermanfaat):

Ini tentang menemukan manfaat nyata dari ilmu. Kita belajar agar terhindar dari "ilmu yang tidak bermanfaat" (ilmin la yanfa'). Ketika siswa diberi kesempatan eksplorasi, mereka akan menemukan sendiri bahwa satu kata dasar, misalnya kata 'is' dalam bahasa Inggris, bisa dikembangkan menjadi ratusan kalimat yang relevan. Meaning akan ditemukan saat pengetahuan bisa digunakan dan dikembangkan.

3. Joyful (Kesenangan Hakiki):

Kegembiraan dalam belajar sejati (Joyful Learning) tidak sama dengan lawakan fisik (funny learning) yang terkadang justru merendahkan. Kesenangan hakiki muncul ketika siswa merasa dihormati, didengar, dan menemukan hal baru atas usahanya sendiri. Pilar ini menolak pembelajaran yang hanya berorientasi pada kelulusan (achievement motivation), yang seringkali mendorong siswa untuk menghalalkan segala cara demi peringkat.

Kurikulum yang Esensial dan Terhubung

Penerapan Deep Learning menuntut perombakan pada muatan kurikulum. Konten tidak boleh overload (disebut juga meyek-meyek), melainkan harus dikurangi dan difokuskan pada yang paling esensial—materi yang bisa ditransformasikan dalam konteks kehidupan.

Di samping kuantitas, setiap mata pelajaran harus disisipi nilai (value). Contohnya kisah Kerajaan Singosari, jika hanya diajarkan sebagai cerita bunuh-membunuh, siswa bisa menangkap narasi bahwa sejarah bangsa ini adalah sejarah pertumpahan darah. Nilai membuat ilmu menjadi bermakna.

Prinsip keterhubungan (interconnectedness) juga menjadi inti. Dengan jenaka, disampaikan bahwa matematika tidak hanya berlaku di dunia, namun juga di akhirat (Yaumul Hisab) dan sangat penting untuk urusan fikih seperti arah kiblat. Ilmu yang terfragmentasi membuat kita menjadi fag idiot (berwawasan sempit).

Maka, perdebatan tentang nama kurikulum—apakah itu K13 atau Merdeka—menjadi tidak relevan. Fokusnya harus diletakkan pada luaran (outcome base): apakah pendekatan ini mampu menciptakan peserta didik yang mandiri (learner self direction), mampu merefleksikan proses belajarnya (metacognition), dan bisa melihat dunia sebagai jejaring pengetahuan yang saling terhubung.

Inilah ajakan untuk kembali pada esensi pendidikan: mengarahkan siswa dari sekadar tahu menjadi mengerti, dari menghafal menjadi mentransformasi, sehingga proses belajar tidak lagi menjadi siksaan, melainkan penemuan makna yang menyenangkan.

Semoga refleksi ini dapat memperkaya pandangan kita tentang bagaimana seharusnya proses pembelajaran yang mendalam berjalan.
Sudut Pandang
Sudut Pandang Menyajikan renungan, inspirasi, dan pandangan tentang Islam, pendidikan, serta makna hidup dari sisi iman dan ilmu. Temukan gagasan segar yang mencerahkan hati dan pikiran.

Post a Comment