Waktu Saja Nggak Ada, Suruh Bermasyarakat?
Seorang guru hari ini bukan hanya guru. Ia bisa sekaligus tenaga administrasi, content creator, motivator, konselor, bahkan kadang jadi “event organizer” di sekolah. Jadwalnya? Jangan tanya. Banyak guru masuk pukul 06.45, pulang resmi pukul 15.30. Itu pun kalau tidak ada tambahan jam sore seperti kegiatan unggulan dan ekstrakurikuler. Bagi sebagian guru yang rumahnya jauh, pulang bisa sampai Magrib, bahkan Isya.
Lalu, bagaimana seorang guru bisa “bersosial” dengan masyarakat?
Kapan ia sempat nongkrong di gardu pos kamling, ikut kerja bakti, atau sekadar ngopi bareng tetangga?
Jawaban paling jujur: ya paling banter Sabtu dan Minggu. Itu pun kalau tidak ada acara sekolah di akhir pekan. Ironisnya, guru yang di atas kertas disebut sebagai “agen sosial” justru terancam kehilangan akses untuk bersosialisasi dengan lingkungannya sendiri.
Murid pun Sama
Tidak hanya guru, murid juga mengalami pola serupa. Kurikulum Merdeka, misalnya, menekankan Profil Pelajar Pancasila dengan enam dimensi — salah satunya adalah dimensi “Berkebinekaan Global” dan “Gotong Royong.” kalau yang sekarang 8 profil lulusan salah satunya 'kewargaan' Intinya, murid diharapkan jadi warga yang bisa hidup berdampingan, aktif di masyarakat, dan peduli lingkungan sosial.
Tapi mari kita jujur: kapan murid bisa berbaur dengan warga? Pulang sekolah rata-rata sore, energi sudah terkuras habis dengan tugas dan kegiatan sekolah. Akhirnya, interaksi mereka dengan masyarakat lebih sering berbentuk “teori di buku paket” ketimbang praktik nyata di lapangan.
Sekolah vs Masyarakat
Pendidikan kita selama ini memang lebih menekankan aktivitas intramural ketimbang aktivitas sosial di luar sekolah. Padahal, Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan bahwa tujuan pendidikan adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, berilmu, cakap, kreatif, dan… ini penting… menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Bagaimana mungkin seorang anak belajar jadi warga negara kalau kesempatan untuk “jadi warga” saja jarang ada?
Apa yang Bisa Dilakukan?
Pertama, perlu ada redefinisi jam belajar dan jam kerja guru. Pendidikan berbasis masyarakat (community-based education) bukan barang baru; konsep ini sudah lama dibicarakan oleh UNESCO lewat empat pilar belajar: learning to know, learning to do, learning to be, and learning to live together. Pilar terakhir jelas menuntut adanya interaksi sosial nyata, bukan sekadar simulasi di kelas.
Kedua, sekolah harus membuka ruang untuk proyek sosial di masyarakat sebagai bagian dari kurikulum. P5 (Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila; sekarang bernama PJbL) sebenarnya sudah ke arah sana. Tapi selama ini praktiknya sering berhenti di output produk (pameran, poster, atau lomba), bukan keberlanjutan relasi sosial di masyarakat.
Ketiga, pemerintah daerah dan organisasi profesi guru perlu mendorong adanya fleksibilitas jam kerja. Guru yang aktif di masyarakat sejatinya sedang memperluas fungsi pendidikannya di luar sekolah. Itu seharusnya diakui, bukan malah dianggap “bolos kegiatan sekolah.”
Menjadi Warga Lagi
Guru dan murid sebetulnya sama-sama butuh ruang untuk menjadi “warga biasa.” Mereka ingin ikut ronda, ingin hadir di rapat RT, ingin ikut nyumbang tenaga di hajatan tetangga. Karena dari situlah identitas sosial mereka tumbuh. Tanpa itu, guru hanya akan dikenal sebagai “orang sekolah” yang kerjanya dari pagi sampai malam di balik tembok institusi.
Kalau dibiarkan, jangan heran kalau kelak masyarakat merasa sekolah semakin jauh dari kehidupan sosial sehari-hari. Guru terasing di sekolah, murid pun terasing di kelas. Dan yang paling rugi adalah cita-cita pendidikan itu sendiri.
Post a Comment
2. Komentar sensitif akan dihapus
3. Gunakan bahasa yang sopan dan saling menghargai perbedaan pendapat dan sudut pandang