Upah Tukang Jelas, Gaji Guru Amblas

Table of Contents

Kalau kita lagi ngobrol di warung kopi pinggir jalan, biasanya topik-topik obrolan random itu suka muncul: harga beras naik, tetangga bikin hajatan, atau gosip politik nasional yang kadang kita sendiri nggak paham ujung pangkalnya. Tapi ada satu hal yang menarik: semua orang kalau ditanya soal gaji tukang bangunan, jawabannya bisa mirip-mirip.

“Tukang batu itu sehari Rp150 ribu.”

“Tukang kuli ya paling Rp80 ribu sampe Rp120 ribu.”

“Mandor? Mandor itu lain kelas, bisa Rp300 ribu ke atas, Mas.”

Ada standar tidak tertulis, tapi semua orang tahu.

Saya sering mikir, kok bisa ya? Standar upah tukang bangunan itu jelas dan bisa dipahami orang awam. Padahal kalau ditanya ke siapa pun: “Standar gaji guru di Indonesia berapa?” jawaban bisa ruwet. Ada yang bilang UMR, ada yang bilang setengah UMR, ada yang malah bilang: “Ya… tergantung sekolahnya.”

Tukang Batu: Pondasi Peradaban yang Nyata

Kita mulai dari tukang batu. Namanya aja udah gagah: tukang batu. Sehari-hari kerjaannya ngangkat batako, bikin pondasi, ngerangkai bata jadi dinding. Gaji standar mereka di banyak daerah sekitar Rp120 ribu–Rp150 ribu per hari. Kalau di kota besar bisa Rp200 ribu.

Artinya, kalau kerja 26 hari sebulan, penghasilan tukang batu bisa Rp3–5 juta. Jelas. Terukur. Bahkan, kalau ada lembur, bisa nambah lagi.

Tukang batu ini punya gengsi tersendiri. Kalau kuli cuma ngangkut, tukang batu udah bisa “mencipta.” Bata yang tadinya cuma numpuk jadi dinding, semen yang tadinya cuma bubuk jadi kokoh. Gaji mereka sesuai.

Bandingkan dengan guru honorer. Satu bulan ngajar full, masuk pagi pulang sore, kadang masih rapat malam, gaji bisa cuma Rp500 ribu. Itu pun sebulan. Kalau dibandingkan, penghasilan tukang batu satu minggu bisa setara gaji guru satu bulan.

Tukang Pasir: Tenaga yang Tidak Bisa Diabaikan

Tukang pasir kadang dianggap “kelas dua” dari tukang batu. Padahal kerjaannya sama beratnya. Ngaduk semen, ngatur campuran, bikin adonan yang jadi napasnya bangunan. Kalau adonan salah, rumah bisa retak.

Upah tukang pasir juga mirip dengan tukang batu, sekitar Rp120 ribu–Rp150 ribu per hari.

Artinya, kerja ngaduk pasir seharian jelas harganya. Kalau kita kontrak rumah, hitungan sudah jelas: semen sekian, pasir sekian, tukang sekian. Transparan.

Guru? Kalau ngajar seharian, berapa nilai satu jamnya? Kalau dihitung per jam, banyak guru honorer cuma dapat Rp5.000–Rp10.000 per jam. Bandingkan dengan bimbel privat, satu jam bisa Rp50 ribu sampai Rp200 ribu. Ironi kan?

Tukang Kuli: Paling Bawah, Tapi Tetap Ada Standar

Kuli alias tenaga kasar. Kerjanya angkut-angkut: semen 50 kg, pasir, batu bata, kayu, apa pun. Gajinya biasanya Rp80 ribu–Rp120 ribu per hari.

Tetap jelas. Ada standar.

Guru honorer di banyak daerah bahkan tidak punya standar minimal. Ada yang Rp300 ribu per bulan, ada yang Rp150 ribu. Bahkan ada yang nol, alias sukarela. Sukarela tapi tiap hari harus hadir, bikin administrasi, ngisi RPP, rapat, ikut supervisi.

Kuli dapat uang harian, guru dapat “pengabdian” bulanan.

Mandor: Bos yang Mengatur

Mandor ini level beda. Tugasnya ngatur jalannya proyek. Bagi kerjaan, ngawasi hasil, pastikan sesuai gambar arsitek. Gaji mandor bisa Rp250 ribu sampai Rp400 ribu per hari. Kalau proyek besar, bisa lebih.

Mandor dihormati. Semua pekerja tunduk sama mandor. Kalau mandor bilang kerja lembur, ya lembur. Kalau mandor bilang besok libur, ya libur.

Di sekolah, kepala sekolah mirip mandor. Bedanya, gaji kepala sekolah tidak bisa dibandingkan dengan gaji mandor. Kepala sekolah negeri dapat tunjangan, lumayan. Kepala sekolah swasta kecil? Kadang malah nggak jauh beda dengan guru biasa.

Tapi tetap, mandor punya standar jelas. Kepala sekolah? Ya lagi-lagi tergantung lembaga.

Guru: Profesi yang Standarnya Kabur

Nah, sampai di sini, kita sudah jelas lihat perbedaan. Tukang batu ada standar. Tukang pasir ada standar. Tukang kuli ada standar. Mandor jelas. Semua terukur.

Guru? Tidak.

Guru negeri memang punya gaji standar berdasarkan golongan ASN. Itu pun kadang dibilang belum cukup. Guru honorer, guru swasta, lebih parah. Tidak ada standar jelas. Gaji bisa Rp2 juta, bisa Rp500 ribu, bisa Rp150 ribu, bahkan ada yang tidak dibayar sama sekali.

Kalau ada orang bilang, “Guru itu pahlawan tanpa tanda jasa.”

Nah, itu masalahnya. Kata-kata manis itu jadi alasan buat tidak membayar guru dengan layak.

Ironi Pahlawan Tanpa Tanda Jasa

Bayangkan begini: kalau tukang bangunan kerja tanpa dibayar, rumah kita nggak bakal berdiri. Kalau guru kerja tanpa dibayar, masa depan anak bangsa bisa roboh. Tapi entah kenapa, sistem lebih menghargai kerja fisik daripada kerja mendidik pikiran.

Tukang bangunan bangun rumah, guru bangun generasi. Dua-duanya vital. Tapi yang satu digaji sesuai standar, yang lain kadang dianggap “ya ikhlas wae.”

Ikhlas boleh, tapi hidup perlu makan. Anak guru juga perlu susu, bayar sekolah, beli beras.

Membandingkan Secara Kasar

Mari kita bikin hitung-hitungan kasar.

  • Tukang batu: Rp150 ribu/hari × 26 hari = Rp3,9 juta/bulan.
  • Tukang kuli: Rp100 ribu/hari × 26 hari = Rp2,6 juta/bulan.
  • Mandor: Rp300 ribu/hari × 26 hari = Rp7,8 juta/bulan.
  • Guru honorer: Rp500 ribu/bulan. Bahkan ada yang Rp300 ribu.

Jadi tukang kuli yang “paling bawah” pun masih lebih sejahtera dari guru honorer.

Padahal, kalau ditanya, siapa yang lebih penting buat bangsa: tukang atau guru? Jawabannya jelas: dua-duanya penting. Tapi kenapa apresiasinya timpang?

Kalau Guru Dibayar Kayak Tukang

Coba bayangkan skenario ini. Guru dibayar seperti tukang bangunan, per hari.

  • Guru Matematika: Rp200 ribu/hari.
  • Guru Bahasa Indonesia: Rp150 ribu/hari.
  • Guru Penjaskes: Rp120 ribu/hari.
  • Kepala sekolah alias mandor: Rp400 ribu/hari.
  • Maka sebulan, guru bisa dapat Rp3–5 juta. Jelas, transparan. Tidak ada drama gaji Rp300 ribu per bulan.

Apakah mungkin? Secara sistem iya, secara politik mungkin tidak. Karena sejak dulu profesi guru diidentikkan dengan pengabdian, bukan profesi yang harus dihargai dengan wajar.

Di sinilah letak masalah besar pendidikan di Indonesia: sistem tidak pernah serius membayar guru dengan standar yang layak.

Padahal, negara-negara yang pendidikannya maju justru menaruh guru di kasta tertinggi. Di Finlandia, gaji guru bisa sama dengan dokter. Di Jepang, guru dihormati, digaji tinggi, dianggap pondasi bangsa.

Di Indonesia, guru sering diposisikan sebagai “kerja sosial.” Ya pantas saja banyak anak muda enggan jadi guru.

Penutup: Bangun Rumah, Bangun Bangsa

Tukang batu, tukang pasir, tukang kuli, dan mandor semua punya standar gaji yang jelas. Semua bisa dihitung, semua transparan. Kalau mereka mogok kerja, rumah kita bisa mangkrak.

Guru? Kalau guru mogok kerja, peradaban bisa hancur. Tapi tetap saja, gajinya sering dianggap “seadanya.”

Ironi terbesar bangsa ini adalah kita menghargai pekerja bangunan dengan standar yang wajar, tapi guru—yang membangun manusia—justru sering tidak diberi standar gaji yang layak.

Jadi, lain kali kalau ada yang bilang, “Guru itu pahlawan tanpa tanda jasa,” tolong revisi kalimatnya. Karena pahlawan sejati juga butuh beras, butuh bayar listrik, butuh biaya sekolah anak.

Kalau tukang bangunan bisa punya standar gaji jelas, kenapa guru tidak?

Post a Comment