Sekolah Ramah Anak Jangan Hanya Spanduk
Pagi itu, minggu (10/8/2025) di sela-sela langkah kaki saat jalan sehat bersama warga mlambong memperingati HUT RI ke-80, saya berjumpa dengan seorang kawan baru sekampung. Jujur, saya lupa namanya saat saya menulis pesan ini, tapi obrolan singkat kami justru membuka wawasan panjang. Ia kini bekerja di bidang keselamatan kerja di sebuah lembaga pelatihan pemberangkatan tenaga kerja Indonesia ke luar negeri.
Dengan nada tenang, ia bercerita: dalam satu tahun, lembaganya bisa memberangkatkan hingga 700 orang ke Jepang. Ada yang menjadi pengemudi kendaraan, ada pula yang masuk ke sektor konstruksi. “Gajinya bisa sampai puluhan juta,” katanya. Namun, syarat untuk bisa menjejakkan kaki di Negeri Sakura bukan sekadar punya keterampilan teknis. Ada satu kunci penting: kemampuan bahasa, sebut saja bahasa Jepang, yang menjadi pintu masuk menuju dunia kerja di sana.
Tapi yang paling mencuri perhatian saya bukanlah soal besaran gaji, melainkan cerita tentang ketatnya penerapan SOP (Standard Operating Procedure) di Jepang. Menurutnya, di sana, jika ada satu saja pekerja yang lalai hingga merenggut nyawa, perusahaan bisa dikenai sanksi berat: denda besar, bahkan larangan beroperasi. SOP bukan sekadar formalitas dokumen, melainkan pedoman hidup yang menjaga keselamatan manusia.
Saya pun bergumam dalam hati: bagaimana jika konsep SOP seperti ini diterapkan dalam dunia pendidikan Indonesia?
Bayangkan, jika sebuah lembaga pendidikan terbukti lalai hingga terjadi pembunuhan, kekerasan, atau tindakan yang membahayakan keselamatan anak, maka izin operasionalnya bisa dicabut. Sekolah bukan lagi sekadar bangunan dengan plang nama “Ramah Anak”, melainkan institusi yang benar-benar menghadirkan rasa aman.
Selama ini, kita sering terjebak dalam simbol. Ada label sekolah ramah anak, sekolah adiwiyata, sekolah digital—tetapi label itu terlalu sering berhenti pada seremoni: pemasangan spanduk, unggahan media sosial, atau laporan administratif. Padahal, di balik pagar sekolah, kasus perundungan, kekerasan fisik, bahkan pelecehan, masih kerap menghantui.
Jika dunia kerja di Jepang bisa menempatkan keselamatan nyawa sebagai prioritas mutlak, mengapa dunia pendidikan—yang notabene berhubungan langsung dengan masa depan bangsa—tidak bisa menempatkan keselamatan anak sebagai hal yang tak bisa ditawar?
Mungkin sudah saatnya regulasi pendidikan kita bergerak lebih tegas. Sekolah yang lalai dalam menjaga anak-anak mestinya tidak cukup diberi teguran administratif, tetapi juga ancaman pencabutan izin. Baru dengan begitu, setiap kepala sekolah, guru, hingga tenaga kependidikan benar-benar menempatkan keselamatan siswa di urutan pertama.
Karena, apa arti sekolah jika murid-muridnya tidak merasa aman?
Sebuah bangsa maju bukan hanya diukur dari angka-angka ekonomi atau jumlah tenaga kerja yang bisa dikirim ke luar negeri. Lebih dari itu, kemajuan ditentukan oleh seberapa serius bangsa tersebut menjaga anak-anaknya—di kelas, di lapangan, dan di lingkungan sekolah yang seharusnya menjadi ruang paling aman setelah rumah.
Mungkin, satu hari nanti, kita tidak lagi sekadar menyebut sekolah ramah anak sebagai label, melainkan menghidupkannya sebagai kenyataan.
Post a Comment
2. Komentar sensitif akan dihapus
3. Gunakan bahasa yang sopan dan saling menghargai perbedaan pendapat dan sudut pandang