Sekolah Bukan Pusat Penitipan Anak: Sudah Saatnya Pendidikan Disaring, Bukan Disapu Rata
![]() |
Suasana KBM |
Di negeri ini, sekolah sering kali berubah fungsi tanpa kita sadari. Bukan lagi menjadi rumah bagi para pencari ilmu, melainkan seperti pusat penitipan anak besar-besaran. Siapa pun bisa masuk, tak peduli apakah ia benar-benar ingin belajar atau sekadar memenuhi keinginan orang tua.
Tak jarang, di dalam kelas, guru mengajar sepenuh hati sementara sebagian siswa sibuk dengan dunia mereka sendiri—mengobrol, menunduk memainkan ponsel, atau hanya menatap kosong. Lalu ujungnya? Nilai tetap di-“up” agar semua naik kelas. Siklusnya berulang, mental malas pun terpelihara.
Saatnya Pemerintah Berhenti Memanjakan
Kalau mau jujur, inilah sumber masalah. Kita terlalu lunak. Pemerintah seharusnya tegas: tidak ada lagi “naik kelas otomatis”. Kalau malas belajar, nilai buruk, dan tidak memenuhi standar, ya tidak naik kelas. Bukan untuk mempermalukan, tapi untuk menegaskan bahwa sekolah adalah tempat orang yang serius mau berpikir, bukan tempat mengisi waktu luang.
Kalau sistem seperti ini diterapkan, siswa akan punya dua pilihan: belajar dengan sungguh-sungguh atau siap menanggung akibatnya. Pendidikan akan kembali punya harga diri.
Kurikulum Harus Nyambung ke Dunia Kerja
Masalah lain yang menganga adalah kurikulum yang sering kali tidak link and match dengan kebutuhan industri. Banyak perusahaan mengeluh, lulusan sekolah dan kampus masuk kerja tapi tetap harus dilatih ulang dari nol. Lalu selama ini mereka belajar apa?
Sekolah dan kampus seharusnya bukan hanya tempat menumpuk teori, tapi melatih keterampilan nyata yang relevan. Kalau lulus, ijazah itu bukan kertas pajangan, tapi tanda bahwa pemiliknya siap terjun ke dunia kerja.
Kampus Juga Harus Selektif
Hal yang sama berlaku di perguruan tinggi. Jangan asal terima mahasiswa demi memenuhi kuota. Lebih baik ketat sejak awal, supaya yang masuk memang punya kemampuan dan mental siap belajar. Dengan begitu, kampus tidak perlu membuang energi “mendidik dari nol” dan lulusannya pun punya kualitas yang bisa dibanggakan.
Selain itu, perguruan tinggi harus benar-benar terhubung dengan dunia industri. Mahasiswa belajar apa yang dibutuhkan di lapangan, bukan sekadar teori yang mengendap di kepala.
Stop Mendirikan Sekolah dan Kampus Asal-asalan
Satu lagi yang jarang disorot: membanjirnya sekolah dan kampus baru tanpa perhitungan matang. Hasilnya? Sekolah lama kehilangan murid, dan banyak kampus berjuang sekadar bertahan hidup. Ibarat pasar penuh pedagang tapi pembelinya sedikit—semua rugi.
Pemerintah harus mengatur rasio jumlah lulusan dengan jumlah lembaga pendidikan di setiap daerah. Kalau sudah jenuh, hentikan izin pendirian sekolah atau kampus baru. Fokus pada peningkatan kualitas yang sudah ada, bukan menambah kuantitas yang akhirnya tak terpakai.
Kembali ke Makna Pendidikan yang Sesungguhnya
Pendidikan adalah investasi masa depan, bukan formalitas yang dijalani setengah hati. Sekolah dan kampus harus diisi oleh orang-orang yang mau bekerja keras membangun dirinya. Ijazah harus kembali menjadi simbol kompetensi, bukan sekadar bukti pernah duduk di bangku sekolah.
Kalau kita berani menyaring, bukan menyapu rata, maka generasi masa depan akan lahir dari orang-orang yang memang mau berjuang, bukan sekadar numpang lewat di dunia pendidikan.
Post a Comment
2. Komentar sensitif akan dihapus
3. Gunakan bahasa yang sopan dan saling menghargai perbedaan pendapat dan sudut pandang