S2: Sekolah Senang, Saku Sengsara

Table of Contents
S2 keren nggak nih?

Ada satu fenomena menarik di dunia pendidikan kita: guru didorong, digoda, bahkan kadang dipaksa untuk kuliah S2. Alasannya mulia: “Supaya ilmu bertambah, metode mengajar lebih canggih, wawasan makin luas.” Siapa yang tidak tergoda? Rasanya seperti diiming-imingi bahwa begitu lulus, kelas akan berubah jadi surganya pembelajaran.

Tapi di balik itu, ada kisah cinta segitiga yang jarang dibicarakan. Pemeran utamanya adalah Guru, Sekolah, dan Saku. Guru kuliah S2, Sekolah makin keren, Saku... menangis.

Lihat saja, biaya S2 bisa setara cicilan motor matic tiga tahun, tapi setelah lulus, gaji tetap nyender manis di angka yang sama. Satu-satunya yang naik cuma gelar di papan nama, dan poin akreditasi sekolah. Oh iya, kadang juga naik jumlah undangan rapat karena dianggap “lebih paham.”

Sekolah tentu bahagia. Guru S2 membuat brosur penerimaan murid baru jadi lebih cantik. “Tenaga pengajar kami lulusan S2,” tulisnya. Calon orang tua siswa terkesima, padahal guru itu sedang menghitung kapan biaya kuliahnya balik modal—jawabannya: entah.

Lalu bagaimana dengan ilmunya? Tentu, banyak guru S2 yang benar-benar membawa pembaruan. Tapi tidak sedikit pula yang hanya membawa power point lama dengan font Comic Sans, lalu menambahkan kata “penelitian” di judulnya. Toh yang penting gelar sudah ada, ijazah sudah difotokopi, dan toga sudah difoto untuk status WhatsApp.

Pada akhirnya, S2 untuk guru adalah seperti membeli treadmill mahal: niatnya olahraga, tapi kalau cuma dipakai untuk gantungan baju, ya manfaatnya sama saja—lebih ke pajangan. Bedanya, treadmill cuma bikin rumah penuh, S2 bisa bikin kantong kosong.

Maka, sebelum memutuskan, guru perlu bertanya pada diri sendiri: “Aku mau S2 karena ingin mengajar lebih baik, atau cuma ingin huruf tambahan di belakang nama?” Kalau jawabannya yang kedua, lebih baik uangnya dipakai buka warung kopi. Setidaknya, warung kopi bisa menaikkan penghasilan, bukan sekadar akreditasi.

Post a Comment