Revolusi Prancis: Dari Bastille ke Brumaire

Table of Contents
Revolusi Prancis

Di musim panas 1789, udara Paris tidak hanya panas oleh matahari Juli, tetapi juga oleh bara kemarahan rakyat. Penjara Bastille—simbol kekuasaan absolut—dikepung oleh massa pada 14 Juli. Mereka bukan hanya mencari senjata, tetapi juga meruntuhkan tembok ketakutan yang telah lama mengekang Prancis. Hari itu, sejarah berbelok tajam.

Namun, kisah ini dimulai jauh sebelum pintu besi Bastille roboh. Prancis kala itu terbelah oleh sistem feodalisme yang kaku. Sekitar 1% penduduk—rohaniawan—dan 2% bangsawan hidup nyaman tanpa pajak. Sementara 97% rakyat biasa, dari petani hingga pedagang, menanggung seluruh beban pajak negara. Ketidakadilan ini diperparah oleh krisis keuangan akibat Perang Tujuh Tahun (1756–1763) dan dukungan Prancis untuk kemerdekaan Amerika (1775–1783). Di istana Versailles, Raja Louis XVI dan Ratu Marie Antoinette tetap menjalani hidup glamor, jauh dari derita rakyat yang kelaparan akibat gagal panen.

Gelombang perubahan makin menguat ketika ide-ide Pencerahan dari Voltaire, Montesquieu, dan Rousseau membakar imajinasi tentang kebebasan dan kesetaraan. Pada 5 Mei 1789, Raja memanggil Estates-General—sidang tiga golongan—untuk membicarakan krisis keuangan. Tapi rakyat jelata yang diwakili Third Estate bosan hanya menjadi penonton. Pada 17 Juni, mereka mendeklarasikan diri sebagai National Assembly. Tiga hari kemudian, di sebuah lapangan tenis, mereka bersumpah tidak akan bubar sebelum konstitusi baru lahir.

Dari situ, api menyala cepat. Feodalisme dihapus pada 4 Agustus 1789. Lalu, pada 26 Agustus, lahirlah Déclaration des droits de l'homme et du citoyen—Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga Negara—sebuah manifesto kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan yang menggema hingga hari ini.

Namun, revolusi tak pernah berjalan mulus. Pada Juni 1791, Raja mencoba melarikan diri dalam peristiwa Pelarian Varennes, tetapi gagal. Kepercayaan rakyat runtuh. Ketika Prancis berperang melawan Austria pada April 1792, monarki makin terpojok. Puncaknya, 10 Agustus 1792, Istana Tuileries diserbu, dan pada 21 September, monarki dihapus. Republik Prancis Pertama berdiri.

Tak lama kemudian, guillotine menjadi ikon gelap revolusi. Louis XVI dieksekusi pada 21 Januari 1793, disusul Marie Antoinette pada 16 Oktober. Di bawah Maximilien Robespierre, Komite Keamanan Publik memimpin masa yang kelak dikenal sebagai Reign of Terror—Masa Teror—yang menelan ±16.000 korban resmi. Ironisnya, Robespierre sendiri akhirnya menjadi korban, dieksekusi pada 1794.

Setelah itu, lahirlah Direktori pada 1795, sebuah pemerintahan lima orang yang mencoba menata ulang negara. Tapi korupsi, krisis ekonomi, dan ketidakstabilan membuat rakyat lelah. Di tengah kekacauan itu, seorang jenderal muda bernama Napoleon Bonaparte tampil ke panggung. Pada 9 November 1799 (18 Brumaire dalam kalender revolusi), ia melakukan kudeta, membubarkan Direktori, dan membentuk Konsulat. Era baru pun dimulai—dan Revolusi Prancis resmi berakhir.

Warisan revolusi ini melampaui batas-batas Prancis. Feodalisme runtuh, prinsip liberté, égalité, fraternité menjadi semangat universal, dan dunia belajar bahwa rakyat, jika bersatu, mampu mengguncang singgasana.

Bastille mungkin hanya reruntuhan batu, tetapi gaungnya masih terdengar di setiap tempat yang berani berkata: kebebasan itu hak semua manusia.

Post a Comment