Kengerian di Balik Loyalitas sebagai Guru
Table of Contents
Di sekolah-sekolah kita, loyalitas guru itu sudah kayak kultus. Semakin pagi datang, semakin dianggap suci. Semakin sore pulang, semakin dicap pahlawan. Padahal, kalau boleh jujur, guru itu bukan superhero Marvel. Kami nggak punya sayap buat terbang ke sekolah, nggak punya kekuatan teleportasi kalau anak tiba-tiba rewel di rumah, dan jelas nggak punya saldo rekening tak terbatas buat bayar kebutuhan hidup.
Masalahnya, sekolah sering lupa kalau guru itu manusia. Lha wong baru bangun jam 4 pagi aja sudah rempong. Mandiin anak yang ngambek, nyuapin yang makannya kayak lomba slow motion, terus antar jemput sekolah yang jamnya bentrok. Belum lagi drama anak TK yang baru disuruh pakai sepatu sudah nangis kayak kehilangan negara. Itu semua nggak ada di kurikulum, tapi entah kenapa sekolah nggak mau tahu.
Datang telat lima menit? Wah, langsung dicemberuti seolah-olah kita habis melakukan dosa besar. Datang tepat waktu? Biasa aja, toh memang kewajiban. Tapi datang lebih awal? Nah ini baru “loyalitas”—siap-siap disanjung kayak habis menyelamatkan dunia. Lah, sebentar, ini sekolah apa reality show?
Yang lebih absurd lagi, pulang terlambat dibilang bukti dedikasi. Padahal seringnya pulang lambat itu bukan karena rajin, tapi karena numpuk kerjaan yang sebenarnya bisa dikerjakan bareng-bareng atau karena pulang nggak punya tujuan mau ngapain. Tapi ya sudah lah, yang penting kelihatan sok sibuk di depan pimpinan. Loyalitas, katanya.
Lucunya, semua tuntutan itu nggak sebanding sama gaji. Gaji guru di negeri ini tuh sering kali lebih mirip uang saku daripada gaji profesional. Tapi gaya pimpinan sekolah, astagfirullah, sudah kayak bos korporat yang bayar miliaran. Suruh ini, suruh itu, wajib begini, harus begitu. Rasanya pengen bilang: “Pak, Bu, saya ini guru, bukan personal assistant bapak ibu.”
Dan yang bikin lebih nyelekit lagi, selalu ada stigma kalau guru nggak datang pagi-pagi banget berarti nggak loyal. Padahal saya sudah bikin sistem tadarus, salat duha, jadwal piket guru pendamping ngaji, semua tinggal jalan. Lah kenapa saya masih harus berdiri tiap pagi di lapangan? Ini sistem kerja tim atau sistem kerja bakti pribadi?
Saya tuh guru agama, bukan kondektur bis. Tapi kadang diperlakukan kayak “tukang absensi keliling” yang harus selalu ada di lokasi. Kalau ada anak nggak salat duha, eh yang ditanya kenapa guru agamanya nggak ngawasin. Lah terus wali kelas, guru piket, among siswa itu fungsinya apa? Hanya sebagai figuran di sinetron sekolah?
Jujur saja, loyalitas yang dipaksakan itu bikin ngeri. Karena lama-lama guru jadi kayak mesin: dihidupkan pagi-pagi, disuruh jalan terus sampai sore, lalu dimatikan dengan gaji pas-pasan. Yang paling tragis, masih ada jargon-jargon manis: “Guru itu pahlawan tanpa tanda jasa", "Guru harus ikhlas mengabdi yang bayarannya surga” Padahal di balik jargon itu ada guru yang harus ngutang demi bayar penitipan anak. Nggak bisa dibayar dengan buaian angin surga.
Kalau mau fair, ya profesional aja. Guru jam-jaman dibayar sesuai jam. Kalau mau guru standby dari 06.30 sampai 16.30, ya kontraknya jelas, gajinya paket, ada tunjangan loyalitas. Jangan main “peras tenaga, bayar seadanya.”
Sampai kapan loyalitas guru mau dijadikan kambing hitam? Kalau terus begini, jangan kaget kalau suatu saat guru jadi “loyal” hanya di daftar presensi atau ingin terlihat pimpinan datang lebih pagi, tapi hatinya sudah pindah ke tempat lain: entah usaha kecil-kecilan, jualan online, atau jadi driver ojol. Karena setidaknya di situ, kerja keras dibayar sesuai hasil.
Kalau saya boleh satir sedikit: guru di negeri ini bukan kurang loyal, tapi sekolah kadang terlalu “ngadi-ngadi.”
Post a Comment
2. Komentar sensitif akan dihapus
3. Gunakan bahasa yang sopan dan saling menghargai perbedaan pendapat dan sudut pandang