Kawah Candradimuka yang Retak
Dahulu, pendidikan adalah kawah candradimuka. Sebuah tempat pelatihan lahirnya manusia tangguh. Tempat mental dan karakter dibentuk. Di sana, anak-anak ditempa bukan sekadar untuk cerdas, tetapi untuk tahan banting, punya empati, berani menghadapi tantangan hidup, dan mampu menyelesaikan masalah tanpa lari.
Kini, kawah itu retak. Retaknya bukan karena gempa bumi, tapi karena pergeseran nilai dan makna. Pendidikan kini lebih menyerupai pabrik nilai—angka-angka yang bisa dimanipulasi, diluluskan demi target, tanpa harus berpeluh kerja keras. Nilai menjadi murah. Bahkan kadang cuma hasil "kerja sama" dalam ujian. Ironisnya, anak-anak yang lulus dengan nilai tinggi, tidak tahu cara mengisi formulir, bingung menghadapi soal cerita, apalagi menyelesaikan konflik sederhana dalam hidup.
Kemampuan nol. Problem solving nol. Karakter? Kosong. Mental? Rapuh. Tekanan sedikit saja bisa membuat mereka meledak, menangis, atau malah membenci gurunya. Tantangan belajar dianggap beban, bukan kesempatan tumbuh. Sekolah tidak lagi menjadi tempat perjuangan, tetapi ruang nyaman yang dibuat steril dari tekanan dan disiplin. Alih-alih menempa anak-anak menjadi kuat, sistem hari ini justru mengupayakan segalanya terasa ringan dan menyenangkan, bahkan untuk hal-hal yang semestinya membutuhkan keringat dan kesungguhan.
Yang lebih mengerikan, guru bukan lagi sosok pendidik yang dihormati. Ia kini mudah sekali diadukan ke polisi, dipenjara oleh wali murid, hanya karena menegur atau mendisiplinkan siswa. Mendidik kini menjadi pekerjaan yang penuh risiko. Satu kata keras bisa dianggap kekerasan. Satu teguran bisa dianggap penghinaan. Lalu, siapa lagi yang akan mendidik jika tangan-tangan pendidik dibelenggu oleh ketakutan dan birokrasi?
Sekolah hari ini sering tak ubahnya tempat penitipan anak. Guru dituntut membentuk generasi emas, tetapi dilarang menyentuh palu pendidikan. Hanya boleh dengan pujian dan pelukan, tanpa boleh ada rotan, bahkan rotan kata-kata. Generasi kita sedang dibesarkan dalam rumah kaca: tumbuh cepat, tapi rapuh.
Padahal, dunia nyata tidak sebaik itu. Dunia tidak selalu mengelus kepala. Dunia menuntut, menguji, dan menghakimi. Dunia kerja dan kehidupan sosial tidak peduli seberapa tinggi nilai rapormu, tapi seberapa sigap kamu menyelesaikan masalah. Di situlah kegagalan pendidikan hari ini berakar: anak-anak tidak diajarkan menghadapi kenyataan, hanya diberi kenyamanan.
Pendidikan seharusnya menjadi tempat perjuangan. Bukan disulap menjadi taman bermain tanpa risiko. Karena hidup bukan tentang bermain-main.
Jika kawah candradimuka tidak segera diperbaiki, yang lahir bukan ksatria, melainkan generasi yang gagal bangkit ketika jatuh, gagal berpikir ketika masalah datang, dan gagal bertahan saat hidup menekan.
Post a Comment
2. Komentar sensitif akan dihapus
3. Gunakan bahasa yang sopan dan saling menghargai perbedaan pendapat dan sudut pandang