Generasi Planga-Plongo: Antara Literasi Rendah dan Lesu Belajar

Table of Contents

Ada pemandangan yang semakin sering mampir di ruang kelas kita: deretan wajah polos yang menatap kosong, seperti sedang menunggu wahyu turun. Bukan karena mereka tak mengerti apa yang diucapkan guru, tapi karena memang tidak ingin mengerti.

Ketika guru membuka pelajaran dengan diskusi—yang katanya metode kekinian—kelas tetap sunyi. Bukan sunyi yang khidmat, tapi sunyi karena otak mereka sedang blank, tangan sibuk dengan coretan tak jelas, atau sekadar menatap meja. Disuruh bertanya? Mereka menunduk, pura-pura sibuk. Ditanya balik? Diam, menunggu teman yang nekat jadi korban pertama.

Guru mencoba berbagai trik: literasi singkat, ice breaking, bahkan humor receh. Tetap saja ada yang menguap seperti baru bangun tidur, meski waktu menunjukkan jam 9 pagi.

Saat jam pelajaran berjalan, ada pertanyaan yang selalu bikin guru pengen facepalm: “Pak/Bu, ini bubar nggak hari ini?” atau “Kapan selesai?” Seolah jam dinding jadi tokoh utama di kelas.

Dikasih tugas? Komentar klasik keluar: “Nggak mau, capek, males.” Ulangan mendadak? Mereka serempak berkata, “Nggak siap, Bu!” seperti sudah kompak berlatih sebelumnya.

Fenomena ini bukan sekadar masalah “anak zaman sekarang manja.” Ada akar yang lebih dalam: rendahnya budaya membaca, minimnya rasa ingin tahu, dan ketergantungan pada instan. Informasi yang mereka konsumsi sehari-hari lebih banyak dari layar TikTok ketimbang buku atau diskusi bermakna.

Sekolah, keluarga, bahkan media—semuanya ikut andil membentuk generasi planga-plongo ini. Jika tidak segera dibenahi, kita akan punya lulusan yang lihai menatap layar, tapi gagap menghadapi kehidupan nyata.

Pertanyaannya: sampai kapan kita akan membiarkan kelas penuh kursi, tapi kosong jiwa belajarnya?

Post a Comment