Cabang Iman di Kehidupan Siswa: Dari Menaati Pemerintah hingga Menjawab Salam
Hidup di Era Serba Cepat: Masih Perlukah belajar cabang iman?
Pernahkah kamu merasa hidup di zaman ini seperti balapan? Segala hal serba cepat, serba instan, bahkan urusan sekolah pun tidak lepas dari kecepatan. Tugas datang bertubi-tubi, ujian mendekat tanpa henti, dan informasi terus mengalir dari media sosial. Dalam derasnya arus itu, ada pertanyaan yang sering muncul: masih relevankah ajaran iman yang diajarkan Rasulullah 14 abad lalu dengan kehidupan kita sebagai siswa saat ini?
Jawabannya: justru semakin relevan. Sebab cabang-cabang iman bukan hanya sekadar teori agama, tetapi bekal nyata dalam menghadapi tantangan modern. Rasulullah SAW menyebutkan bahwa iman memiliki lebih dari 70 cabang, mulai dari hal besar seperti jihad hingga hal sederhana seperti menyingkirkan duri dari jalan. Dari sekian banyak cabang iman itu, empat di antaranya sangat dekat dengan kehidupan kita sebagai siswa: menaati pemerintah, tolong menolong, amar ma’ruf nahi munkar, serta memberi dan menjawab salam.
Tulisan ini mencoba membedah keempat cabang iman itu dengan gaya ringan, ala kolumnis, tapi tetap penuh makna. Mari kita mulai perjalanan reflektif ini.
1. Menaati Pemerintah: Bukan Sekadar Formalitas, tapi Kewajiban Iman
Ketika mendengar kata pemerintah, siswa biasanya langsung membayangkan pejabat, DPR, presiden, atau polisi lalu lintas. Padahal dalam lingkup kecil, pemerintah bisa berarti guru di kelas, kepala sekolah di lingkungan pendidikan, bahkan ketua OSIS dalam sebuah organisasi. Mereka semua punya fungsi yang sama: mengatur, mengarahkan, dan menjaga agar sebuah komunitas berjalan dengan tertib.
Rasulullah SAW bersabda:
Barangsiapa taat kepada pemimpin, maka ia telah taat kepadaku. Dan barangsiapa durhaka kepada pemimpin, maka ia telah durhaka kepadaku." (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadis ini menegaskan bahwa menaati pemerintah adalah bagian dari ketaatan kepada Nabi, yang tentu bermakna ketaatan kepada Allah. Namun, ada satu catatan penting: ketaatan itu berlaku selama perintahnya tidak bertentangan dengan syariat.
Relevansi di Dunia Siswa
Bayangkan saat guru menyuruh mengumpulkan tugas tepat waktu. Itu bentuk aturan kecil yang wajib dipatuhi. Jika kita sengaja menunda atau mengabaikan, sebenarnya kita sedang melawan disiplin, yang hakikatnya bagian dari menaati pemimpin. Atau ketika pemerintah membuat aturan wajib belajar 12 tahun, siswa yang serius menjalankan kewajiban sekolah sebenarnya sedang menjalankan cabang iman: menaati pemerintah.
Mungkin ada yang protes, “Lha kalau pemerintahnya korupsi, masa tetap ditaati?”
Pertanyaan kritis seperti ini wajar. Islam menegaskan: ketaatan tetap berlaku pada aturan yang baik. Jika ada kebijakan zalim, kritik boleh dilakukan, tapi dengan cara santun, tidak anarkis. Sebagai siswa, kita bisa belajar dari hal sederhana: menyampaikan pendapat ke guru atau OSIS lewat forum resmi, bukan dengan merusak kelas atau kabur dari sekolah.
Pelajaran
Menaati pemerintah melatih kita disiplin, tertib, dan menghargai aturan. Tanpa itu, sekolah akan kacau, negara pun akan hancur.
2. Tolong Menolong: Budaya yang Kian Tergusur Individualisme
Kalau kamu pernah lihat teman lupa bawa pulpen lalu kamu pinjami, itulah contoh kecil dari cabang iman yang bernama tolong menolong. Islam sangat menekankan budaya ini. Allah berfirman:
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan." (QS. Al-Maidah: 2).
Ayat ini jelas: ada tolong menolong yang berpahala, ada pula yang berdosa.
Praktik di Sekolah
Tolong menolong yang benar: membantu teman yang kesulitan memahami pelajaran, mendukung kegiatan sosial, ikut galang dana untuk korban bencana.
Tolong menolong yang salah: membantu teman mencontek saat ujian, menutupi kenakalan teman, atau ikut-ikutan tawuran hanya karena solidaritas kelompok.
Di era digital, bentuk tolong menolong pun berkembang. Misalnya, berbagi file catatan lewat grup WhatsApp kelas, membuat konten edukatif di TikTok, atau sekadar mengingatkan jadwal piket. Semua itu adalah ibadah jika diniatkan lillahi ta’ala.
Mengapa Siswa Sering Lupa?
Budaya individualisme sering merasuki siswa. “Urusanmu ya urusanmu, urusanku ya urusanku.” Padahal, manusia adalah makhluk sosial. Tanpa saling tolong, kita akan lelah sendiri menghadapi hidup.
Pelajaran
Menolong orang lain sesungguhnya menolong diri sendiri. Ada kepuasan batin yang tidak tergantikan ketika kita menjadi penyebab kebahagiaan orang lain.
3. Amar Ma’ruf Nahi Munkar: Tugas Berat tapi Mulia
Inilah cabang iman yang sering dianggap “berat” untuk siswa. Amar ma’ruf nahi munkar artinya mengajak pada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Allah menegaskan dalam QS. Ali Imran: 104:
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung."
Tantangan di Era Siswa
Takut diejek: ketika menegur teman yang berkata kotor, sering kali balasannya adalah ejekan, “Sok suci banget, ah!”
Takut dikucilkan: di lingkungan geng sekolah, yang menolak tawuran bisa dianggap pecundang.
Takut dianggap sok alim: mengingatkan shalat berjamaah sering disalahpahami sebagai pamer kesalehan.
Padahal, amar ma’ruf nahi munkar tidak harus dengan cara keras. Rasulullah SAW mengajarkan: lakukan sesuai kemampuan. Jika tidak bisa dengan tangan (tindakan nyata), lakukan dengan lisan (nasihat). Jika masih sulit, cukup dengan hati, yakni tidak menyetujui perbuatan salah itu.
Praktik Nyata untuk Siswa
- Mengingatkan teman untuk shalat ketika jam istirahat.
- Mengajak belajar kelompok ketimbang nongkrong tak jelas.
- Menolak ajakan merokok atau tawuran, sekaligus memberi alasan bijak.
- Menyebarkan konten positif di media sosial alih-alih gosip atau hoaks.
Pelajaran
Amar ma’ruf nahi munkar membuat siswa berani, peduli, dan menjadi agen perubahan positif. Mungkin sulit di awal, tapi efeknya luar biasa bagi lingkungan sekolah.
4. Memberi dan Menjawab Salam: Sopan Santun yang Menguatkan Persaudaraan
“Assalamu’alaikum…” adalah kalimat sederhana yang sering diucapkan tapi kadang dianggap remeh. Padahal, memberi salam adalah cabang iman yang memiliki kedalaman makna. Salam bukan sekadar sapaan, melainkan doa: Semoga keselamatan, rahmat, dan berkah Allah tercurah kepadamu.
Rasulullah SAW bersabda:
Kalian tidak akan masuk surga hingga kalian beriman, dan kalian tidak akan beriman hingga kalian saling mencintai. Maukah aku tunjukkan sesuatu yang jika kalian lakukan, kalian akan saling mencintai? Sebarkanlah salam di antara kalian." (HR. Muslim).
Relevansi di Dunia Siswa
Memberi salam kepada guru sebelum masuk kelas, itu bentuk adab dan penghormatan.
Menjawab salam teman, meski berbeda geng atau kelompok, itu bentuk persaudaraan.
Menyebarkan salam di media sosial, seperti “Assalamu’alaikum, teman-teman kelas bla bla!”, itu menghidupkan sunnah di ruang digital.
Tantangan Siswa
Sering kali memberi salam dianggap kaku atau kuno. Bahkan ada yang menyepelekan dengan menjawab setengah hati, “Wa’alaikum…” tanpa lengkap. Padahal, menjawab salam hukumnya wajib.
Pelajaran
Salam membangun suasana damai di sekolah. Bayangkan jika setiap pagi seluruh siswa saling memberi salam dengan tulus, atmosfer sekolah akan lebih hangat, penuh cinta, dan jauh dari permusuhan.
Menyatukan Empat Cabang Iman: Skenario Kehidupan Siswa
Mari kita coba bayangkan sebuah skenario nyata di sekolah.
Seorang siswa bernama Raka tiba di sekolah. Di gerbang, ia menyapa satpam dengan salam, “Assalamu’alaikum.” Satpam menjawab dengan hangat. Di kelas, guru memberi instruksi mengumpulkan tugas tepat waktu. Raka menaati aturan itu sebagai wujud cabang iman menaati pemimpin. Saat istirahat, ia melihat temannya kesulitan menghitung soal matematika, lalu ia membantu dengan sabar—itulah tolong menolong dalam kebaikan. Sore harinya, ketika teman-temannya hendak bolos untuk nongkrong, Raka mengingatkan, “Ayo jangan, besok ada ulangan. Kita belajar bareng aja.” Itu bentuk amar ma’ruf nahi munkar.
Empat cabang iman itu nyata dalam rutinitas sederhana siswa. Tidak butuh mimbar besar untuk melaksanakannya, cukup keikhlasan dalam keseharian.
Penutup: Menjadi Siswa Beriman, Bukan Sekadar Berprestasi
Dalam kompetisi dunia modern, siswa sering diarahkan untuk sekadar berprestasi akademik: nilai tinggi, ranking, juara olimpiade. Itu semua penting, tetapi jangan sampai lupa: iman adalah fondasi utama. Tanpa iman, prestasi hanya angka kosong.
Cabang iman—menaati pemerintah, tolong menolong, amar ma’ruf nahi munkar, dan memberi serta menjawab salam—bukan hanya teori yang dihafal di kelas PAI, melainkan amalan yang harus hidup di sekolah, rumah, hingga dunia digital.
Jangan pernah anggap remeh cabang iman, sebab dari hal kecil itulah lahir peradaban besar. Dari siswa yang taat aturan, suka menolong, berani mengingatkan, dan ringan memberi salam, akan lahir generasi pemimpin yang kuat iman sekaligus cerdas akal.
Post a Comment
2. Komentar sensitif akan dihapus
3. Gunakan bahasa yang sopan dan saling menghargai perbedaan pendapat dan sudut pandang