Budaya Kerja yang Menggerus Waktu Libur
![]() |
Harus alesan apa yah ke atasan? |
Ada hal yang sudah lama menjadi rahasia umum di dunia kerja Indonesia: libur tidak pernah benar-benar libur. Kalender boleh saja memberi warna merah, jam pulang kantor boleh saja menandakan selesai, tetapi telepon genggam kita—terutama grup WhatsApp kantor—sering menjelma kantor bayangan yang tak pernah tutup.
Skenarionya mirip dan berulang: sudah tiba di rumah, santai bersama keluarga, tiba-tiba notifikasi ting. “Besok tolong siapkan ini.” Atau di tengah hari Minggu, ketika orang-orang ingin istirahat, pesan singkat muncul: “Mohon masuk, ada rapat mendadak.” Apakah pekerjaan benar-benar sesak hingga tidak bisa menunggu jam kerja? Ataukah ini hanya cermin dari budaya manajemen yang belum bisa menghargai batasan?
Ironinya, semua itu terjadi ketika gaji yang diterima tidak seberapa. Dengan upah yang jauh dari kata layak, tenaga kerja dituntut untuk selalu siap sedia. Seolah-olah profesionalisme diukur dari kesediaan “siaga 24 jam,” bukan dari kualitas kerja yang efektif di jam kerja. Bukankah lebih masuk akal jika tugas dibahas ketika kita berada di kantor, bukan di ruang tamu rumah?
Saya pribadi sering bertanya: mengapa tega sekali memberi perintah tanpa peduli ruang personal bawahan? Kalau saya kepala sekolah, saya tak akan sanggup hati nurani saya membiarkan guru atau staf kehilangan waktu berharga bersama keluarga hanya demi urusan administrasi yang bisa ditunda sampai besok pagi.
Namun realitas tak semudah itu. Banyak dari kita yang tetap bertahan. Usia yang tak lagi muda, ketidakpastian mencari pekerjaan baru, dan rasa takut kehilangan mata pencaharian membuat kita menundukkan kepala. Bukan karena nyaman, tapi karena tak punya pilihan.
Di titik inilah, dunia kerja kita perlu bercermin. Apakah kita sedang membangun produktivitas, atau justru menciptakan generasi pekerja yang letih secara fisik dan mental? Libur seharusnya hak, bukan celah untuk dipaksa bekerja diam-diam. Karena manusia bukanlah mesin; ada tubuh yang butuh istirahat, ada jiwa yang perlu ruang, ada keluarga yang juga menuntut kebersamaan.
Pertanyaannya sederhana: sampai kapan kita akan terus membiarkan budaya kerja yang menggerus kehidupan itu berjalan seakan-akan wajar?
Post a Comment
2. Komentar sensitif akan dihapus
3. Gunakan bahasa yang sopan dan saling menghargai perbedaan pendapat dan sudut pandang