Republik yang Tergesa-gesa di Pintu Sekolah
Di ruang-ruang tunggu taman kanak-kanak dan di tengah perbincangan cemas para orang tua milenial, ada sebuah perlombaan yang tak pernah diumumkan secara resmi: adu cepat memasukkan anak ke gerbang sekolah dasar. Brosur-brosur sekolah dengan janji kurikulum akselerasi ditebar, seolah masa depan anak dipertaruhkan pada kemampuannya membaca dan berhitung sedini mungkin. Kita, sebagai masyarakat, seakan sedang membangun sebuah republik yang tergesa-gesa, bahkan untuk urusan otak anak-anak kita.
Kita kerap lupa, atau mungkin sengaja abai, bahwa di dalam tempurung kepala mungil itu terdapat sebuah semesta yang bekerja menurut jadwal biologisnya sendiri. Kita memaksakan satu ukuran seragam untuk semua, tanpa bertanya: apakah semua anak memang dirancang untuk berlari di lintasan yang sama dan pada waktu yang bersamaan?
Sebuah penelitian dari University of California, yang dipimpin oleh Dr. Louann Brizendine, membisikkan jawaban yang seharusnya membuat kita berhenti sejenak. Penelitian itu mengonfirmasi apa yang mungkin telah dirasakan oleh banyak orang tua secara intuitif: ada perbedaan fundamental dalam arsitektur otak anak laki-laki dan perempuan sejak mereka menghirup napas pertama. Ini bukan soal stereotip, ini soal neurosains.
Anak perempuan, menurut temuan itu, terlahir dengan sebuah "anugerah" keseimbangan. Sejak usia nol hingga enam tahun, jembatan antara otak kiri (pusat logika, bahasa, analisis) dan otak kanan (pusat imajinasi, kreativitas, intuisi) telah terhubung dengan harmonis. Mereka ibarat musisi yang mampu memainkan nada-nada analitis dan melodi kreatif secara bersamaan. Inilah yang membuat mereka, secara neurologis, lebih siap menyerap pelajaran akademis formal di usia yang lebih belia.
Lalu bagaimana dengan anak laki-laki? Otak mereka memiliki peta perjalanan yang berbeda. Pada rentang usia yang sama, dunia mereka didominasi oleh belahan otak kanan. Mereka adalah para petualang, arsitek, dan seniman ulung dalam dunia imajinasinya. Energi mereka tersalurkan lewat gerak, permainan, dan kreasi visual. Memaksa mereka duduk tenang di depan buku penuh aksara, tanpa alat peraga yang merangsang imajinasinya, ibarat meminta seorang pelukis untuk menulis esai saat ia sedang bergelora dengan ide di kanvasnya.
Di sinilah letak tragedi sunyi dari sistem pendidikan kita. Dengan mewajibkan kemampuan calistung (baca, tulis, hitung) sebagai tiket masuk SD—sebuah kebijakan yang walau sudah dilarang masih kerap menjadi praktik—kita secara tidak sadar sedang menghukum anak laki-laki karena menjadi dirinya sendiri. Kita menempatkan mereka dalam sebuah perlombaan yang lintasannya tidak sesuai dengan rancang bangun otaknya, menciptakan stres yang tak perlu dan menanam benih kebencian pada aktivitas belajar.
Maka, tak mengejutkan jika penelitian menyarankan sebuah jeda. Otak kiri anak laki-laki baru benar-benar "siap" untuk menerima instruksi membaca dan matematika yang kompleks pada usia enam tahun. Memberinya waktu hingga usia tujuh tahun untuk masuk SD bukanlah sebuah kelambatan, melainkan sebuah kearifan. Itu adalah cara kita menghormati ritme biologisnya, memberinya kesempatan untuk mematangkan fondasi otak kanannya sebelum dibebani tuntutan otak kiri.
Pada akhirnya, isu ini bukanlah sekadar perdebatan tentang kapan seorang anak harus bersekolah. Ini adalah cerminan dari cara kita memandang pendidikan itu sendiri. Apakah pendidikan adalah sebuah pabrik yang harus mencetak lulusan dengan standar seragam, atau sebuah taman yang tugasnya merawat setiap benih agar tumbuh sesuai kodratnya?
Memilih sekolah yang kaya alat peraga dan memiliki guru yang memahami perbedaan ini adalah langkah awal yang bijak. Namun, perubahan yang lebih besar harus dimulai dari cara pandang kita. Berhenti tergesa-gesa. Beri anak-anak kita, terutama anak laki-laki, kemewahan untuk bermain lebih lama. Karena di dalam permainan itulah, fondasi kreativitas, logika, dan kecintaan pada ilmu pengetahuan justru sedang dibangun dengan kokoh.
Sumber inspirasi tulisan: Andromdia Channel (Yt).
Post a Comment
2. Komentar sensitif akan dihapus
3. Gunakan bahasa yang sopan dan saling menghargai perbedaan pendapat dan sudut pandang