Meramu Takwa di Jagat Maya: Inovasi UHAMKA Menjawab Panggilan Zaman

Table of Contents

Layar gawai di genggaman seorang remaja menyala tanpa henti. Dalam hitungan menit, jemarinya lincah melompat dari video dakwah singkat di TikTok, ke perdebatan sengit di kolom komentar Instagram, lalu tersesat dalam pusaran konten nirfaedah. 

Inilah potret generasi digital, sebuah realitas yang menjadi tantangan sekaligus kegelisahan bagi para pendidik, terutama guru agama. Bagaimana menanamkan nilai luhur di tengah rimba informasi yang begitu riuh?

Di sebuah sudut Jakarta, tepatnya di lingkungan kampus Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA (UHAMKA), kegelisahan itu tidak hanya didiskusikan, tetapi coba dirumuskan jawabannya. Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI) di sini sedang berbenah, mencoba meracik sebuah formula baru untuk mencetak guru agama yang tak hanya fasih berdalil, tetapi juga sigap beradaptasi dengan zaman.

"Peran guru agama Islam menjadi sangat penting hari ini. Anak-anak kita adalah native digital, dan jika kita sebagai pendidik gagap teknologi, kita akan ditinggalkan," ujar Shobah Shofariyani Iryanti, S.Pd.I, M.Pd., Kepala Program Studi (Kaprodi) Pendidikan Agama Islam Uhamka, dalam presentasinya. Beliau menjelaskan bahwa tantangan seperti perundungan siber dan degradasi moral menuntut kehadiran sosok pendidik yang mampu masuk ke dunia anak-anak muda itu.

Untuk itulah, PAI UHAMKA mengusung sebuah pendekatan yang mereka sebut "profetik", yang berdiri di atas tiga pilar utama. Pilar pertama, humanis. "Ini adalah tentang memanusiakan manusia, mengajar dengan hati," jelas Ibu Shobah. Di ruang-ruang kelas mereka, mahasiswa tidak hanya diajarkan untuk mentransfer ilmu, tetapi untuk membangun ikatan emosional, menciptakan suasana belajar yang menyenangkan agar ketulusan seorang guru bisa benar-benar membekas di hati muridnya.

Pilar kedua adalah liberasi, atau pembebasan. Menurut Kaprodi PAI Uhamka tersebut, ini adalah upaya membebaskan mahasiswa dari kebodohan, terutama kebodohan akan teknologi. Hasilnya pun mulai terlihat. 

Di sebuah pameran inovasi, mahasiswa PAI UHAMKA dengan bangga menunjukkan aplikasi Android bernama "Tajwidku" yang sudah bisa diunduh di Play Store. Di sudut lain, sebuah tim sedang merancang animasi 3D untuk mengajarkan akhlak, sementara tim lainnya mengembangkan media pembelajaran huruf hijaiyah berbasis Kecerdasan Buatan (AI) untuk anak berkebutuhan khusus.

"Mereka tidak hanya belajar teori, tapi langsung praktik membuat konten dakwah digital. Ada mata kuliah Character Building di mana tugasnya adalah membuat konten untuk TikTok dan Instagram," tambah Shobah sambil tersenyum.

Namun, di tengah euforia teknologi, pilar ketiga, transendensi, menjadi sauh yang menjaga semuanya tetap di jalurnya. Nilai-nilai ketakwaan dan keimanan menjadi landasan agar kemajuan ilmu tidak membuat mereka lupa pada esensi ajaran agama. Kombinasi unik ini melahirkan profil lulusan yang multitalenta: seorang guru yang bisa mengelola lembaga pendidikan (edupreneur), seorang peneliti muda, sekaligus seorang kreator konten dakwah.

Kurikulum mereka pun dirancang untuk melampaui standar. Selain ilmu kependidikan, mahasiswa PAI UHAMKA sejak semester empat sudah berjibaku dengan ilmu falak, belajar teori hingga praktik langsung menggunakan teleskop untuk menentukan arah kiblat atau tanggal 1 Syawal. Wawasan mereka juga ditempa hingga ke tingkat global melalui program KKN Internasional di Thailand, Malaysia, bahkan Arab Saudi.

Ada satu hal lagi yang membuat program ini terasa begitu membumi. Di tengah kesibukan merancang aplikasi dan konten digital, setiap mahasiswa diwajibkan memiliki keterampilan praktis yang esensial di masyarakat. "Dalam ujian komprehensif kelulusan, mereka akan diuji kemampuan hafalan Juz 30, dan juga praktik langsung memandikan, mengkafani, hingga menyalatkan jenazah," ungkap Shobah Shofariyani Iryanti.

Ini adalah sebuah sintesis yang mengagumkan. PAI UHAMKA seakan ingin menegaskan bahwa guru agama masa depan adalah sosok yang kepalanya mampu menjangkau langit kemajuan teknologi, namun kakinya tetap menjejak kuat di bumi pengabdian masyarakat. Sosok yang jemarinya terampil merancang algoritma aplikasi, namun hatinya tetap terhubung dengan Sang Pencipta saat memimpin doa untuk jenazah di hadapannya. Sebuah jawaban konkret atas panggilan zaman yang terus berubah.

Sumber Inspirasi Tulisan: TvMu Channel

Post a Comment