Mengenang Karbala: Pengorbanan Sang Cucu Nabi demi Kebenaran

Table of Contents
Ilustrasi gambar dari channel youtube
Syekh Muhammad Al-Fuly

Tragedi Karbala adalah sebuah kisah pilu yang terpahat dalam lembaran sejarah Islam, sebuah episode di mana Sayidina Husain, cucu kesayangan Nabi Muhammad SAW, harus menghadapi takdir pahit. Video yang saya lihat dan saya pahami di channel youtube Syekh Muhammad Al-Fuly ini membawa kita kembali ke momen mencekam itu, saat Husain syahid demi sebuah prinsip yang lebih tinggi. Pembunuhnya? Konon dikutuk dengan kehausan abadi, sebuah balasan atas doa pedih Husain di detik-detik terakhirnya.

Semuanya berawal ketika umat memilih Al-Hasan bin Ali sebagai penerus Sayidina Ali bin Abi Thalib. Namun, demi menghindari perpecahan yang lebih besar, Al-Hasan memilih jalur damai. Ia menyerahkan tongkat kekhalifahan kepada Sayidina Muawiyah bin Abi Sufyan dengan satu syarat krusial: kekuasaan harus dikembalikan kepada umat untuk dipilih secara syura setelah Muawiyah tiada. Sebuah syarat yang, sayangnya, diingkari. 

Muawiyah justru menunjuk putranya, Yazid bin Muawiyah, sebagai pewaris takhta. Keputusan inilah yang menjadi bara api. Banyak sahabat, termasuk Sayidina Husain, menolak keras. Dalam pandangan mereka, Islam tidak mengenal dua baiat dalam satu waktu, dan banyak yang lebih berhak memimpin daripada Yazid.

Perjalanan Penuh Duka Menuju Kufah

Di tengah gejolak itu, sebuah harapan kecil muncul dari Kufah. Warga Kufah, yang menolak Yazid, mengundang Sayidina Husain untuk datang dan menerima baiat sebagai khalifah mereka. Sayidina Husain, dengan penuh kehati-hatian, mengutus sepupunya, Muslim bin Aqil, untuk memastikan kesungguhan niat warga Kufah. Laporan Muslim bin Aqil yang menyatakan kesiapan Kufah membaiatnya menjadi pemicu perjalanan yang kelak akan menjadi legenda.

Namun, Yazid tak tinggal diam. Ia segera mengirim Ubaidillah bin Ziyad (sering disebut Bin Ziyad), seorang panglima berhati kejam, untuk memadamkan bara perlawanan di Kufah. Dengan segala intrik dan kekejaman, Bin Ziyad berhasil memecah belah dukungan warga Kufah—suku-suku terkemuka dirayu dengan harta, dan puncaknya, Muslim bin Aqil dibunuh. 

Sayidina Husain, yang belum tahu kabar duka ini, tetap melanjutkan perjalanannya dari Mekah menuju Kufah bersama 72 pengikut setianya. Nasihat para sahabat yang memintanya untuk tidak pergi karena khawatir akan keselamatannya, tak menggoyahkan tekadnya untuk menegakkan keadilan.

Karbala: Medan Syahid Sang Pemberani

Perjalanan Sayidina Husain terhenti di Karbala. Bin Ziyad mengirim 1.000 pasukan di bawah Al-Hur bin Yazid untuk mencegatnya. Sayidina Husain menawarkan tiga opsi damai: kembali ke Madinah, masuk Kufah untuk berbicara langsung dengan masyarakat, atau Yazid menyerahkan kekuasaan kepada umat. 

Semua tawaran itu ditolak mentah-mentah. Situasi semakin mencekam ketika Bin Ziyad mengirim 4.000 pasukan tambahan di bawah pimpinan Umar, mengepung 72 pengikut Husain. Puncak kekejaman terjadi saat pasukan musuh memutus pasokan air, membuat Sayidina Husain dan keluarganya menderita kehausan yang amat sangat.

Pertempuran pecah setelah shalat subuh dan berlangsung hingga dzuhur. Di bawah terik matahari Karbala, banyak anggota keluarga Nabi gugur, termasuk Ali bin Husain (putra Husain) dan Al-Qasim (keponakan Husain). Akhirnya, Sayidina Husain sendiri syahid setelah dipukul dan ditusuk berkali-kali. 

Tragedi tak berhenti sampai di situ; kepala beliau dipenggal dan dibawa ke hadapan Bin Ziyad, yang dengan keji menusuk mulut mulia Sayidina Husain dengan besi.

Pelajaran Abadi dari Karbala

Kisah Karbala tidak berakhir begitu saja. Konon, pembunuh Sayidina Husain, Anas bin Sinan, menjadi gila dan mengakhiri hidupnya sendiri. Bin Ziyad pun tak luput dari karma; beberapa tahun kemudian, ia dibunuh dan kepalanya dipisahkan dari badannya. Ini adalah pengingat bahwa kezaliman takkan pernah menang mutlak.

Tragedi Karbala mengajarkan kita sebuah kebenaran fundamental: urusan kepemimpinan umat tidak boleh dimonopoli oleh satu keluarga. Sayidina Husain memilih kebenaran di atas segalanya, bahkan di atas nyawanya sendiri, demi menentang kezaliman yang terang-terangan. 

Maka, adalah tugas kita, khususnya Ahlusunah wal Jamaah, untuk terus menceritakan kisah Sayidina Husain dan Ahlul Bait. Bukan sekadar mengenang duka, melainkan untuk menjaga narasi yang lurus, untuk memastikan kebenaran sejarah tak terkubur, dan untuk menginspirasi generasi mendatang agar senantiasa berpihak pada keadilan, sebagaimana dicontohkan oleh sang cucu Nabi.

Post a Comment