Ketika Sejarah Menjadi Luka: Membedah Nalar di Balik Perpecahan Islam
![]() |
Syekh Muhammad Alfuli |
Setiap keluarga besar, barangkali, memiliki ceritanya sendiri tentang sebuah perselisihan di masa lalu. Sebuah sengketa warisan, perebutan pengaruh, atau kesalahpahaman antar saudara yang membatu seiring waktu, diwariskan dari generasi ke generasi. Cerita itu terus diulang di meja makan, diwarnai oleh subjektivitas dan kepedihan, hingga akhirnya menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas cabang-cabang keluarga tersebut. Masing-masing pihak merasa sebagai korban, dan pihak lain sebagai pelaku.
Sekarang, bayangkan jika sengketa itu terjadi dalam sebuah "keluarga" terbesar di dunia, dan yang diperebutkan adalah jubah kepemimpinan setelah wafatnya sang Ayah pendiri. Inilah, dalam kacamata saya sebagai seorang manusia yang mencoba memahami, analogi paling sederhana untuk menatap luka sejarah yang membelah Islam menjadi Sunni dan Syiah. Sebuah tragedi keluarga yang gaungnya terus terasa melintasi 14 abad.
Video yang saya amati dari channel youtube Syekh Muhammad Alfuli mencoba memetakan sumber perpecahan ini, dan membukanya dengan sebuah fakta penting: Syiah bukanlah entitas monolitik. Ada ratusan percabangan, namun fokus utama dunia saat ini tertuju pada Syiah Isna Asyriyah atau Syiah 12 Imam, yang menjadi mayoritas di Iran dan Irak. Di sinilah letak jantung persoalan yang sesungguhnya.
Bagi mereka, cerita sejarah berjalan dengan alur yang berbeda. Ketika Rasulullah SAW wafat, kepemimpinan semestinya tidak diserahkan melalui musyawarah, melainkan melalui penunjukan ilahi yang jatuh kepada Ali bin Abi Thalib, sang menantu dan sepupu Nabi. Ini bukan sekadar preferensi politik; ini adalah doktrin fundamental bernama Imamah. Dalam narasi ini, dua belas figur suci (Imam) telah ditakdirkan untuk memimpin, dimulai dari Ali hingga sang juru selamat akhir zaman, Muhammad Al-Mahdi, yang kini diyakini sedang "ghaib".
Dari sudut pandang nalar manusia, di sinilah logika perpecahan mulai terbentuk dengan sendirinya. Jika Anda meyakini dengan sepenuh hati bahwa kepemimpinan adalah hak ilahi yang telah dirampas, maka apa konsekuensinya? Konsekuensinya, figur-figur yang mengambil alih kepemimpinan itu—Abu Bakar dan Umar bin Khattab, yang begitu dihormati oleh mayoritas Muslim—secara otomatis akan dipandang sebagai perampas hak. Sejarah mereka harus ditulis ulang sebagai antagonis untuk memperkokoh narasi kebenaran versi sendiri.
Di titik inilah, sebuah perselisihan politik mulai berevolusi menjadi kebencian yang diwariskan. Untuk membuktikan Abu Bakar dan Umar bersalah, karakter mereka harus "dibunuh". Tuduhan-tuduhan keji pun dilontarkan. Hal yang sama, bahkan lebih tragis, menimpa Aisyah, istri Nabi. Posisinya sebagai figur sentral di lingkaran dalam Nabi menjadi target utama untuk mendelegitimasi kelompok lawan. Tuduhan zina yang telah dibantah langsung oleh Tuhan dalam Al-Qur'an (Surah An-Nur ayat 11-20) kembali diungkit. Bahkan, fitnah yang lebih mengerikan—bahwa ia meracuni suaminya sendiri—turut disebarkan.
Secara rasional, ini adalah sebuah mekanisme pertahanan psikologis yang dibawa ke tingkat ekstrem. Ketika sebuah keyakinan sudah mendarah daging, bukti apa pun yang bertentangan dengannya akan ditolak, sekalipun itu adalah ayat suci yang diimani bersama. Inilah tragedi terbesar dari perpecahan ini: ia memaksa para pengikutnya untuk memilih narasi mana yang akan dipercaya, bahkan jika itu berarti menafikan akal sehat dan sumber hukum tertinggi mereka sendiri.
Namun, di akhir video tersebut, ada sebuah momen kejernihan yang luar biasa. Sang penceramah syekh Muhammad Alfuli memohon kepada para penontonnya untuk tidak saling mencaci maki, apalagi dengan mudahnya melontarkan vonis "kafir". Ini adalah sebuah pengakuan yang jujur: betapapun dalamnya perbedaan tafsir sejarah, tindakan gegabah menghakimi iman orang lain adalah sebuah langkah berbahaya yang melampaui batas. Menentukan status keimanan seseorang adalah tanggung jawab besar yang hanya pantas diemban oleh ulama dengan ilmu yang mendalam, bukan oleh emosi massa di kolom komentar.
Bagi saya, kata syekh. imbauan ini adalah esensi dari seluruh persoalan. Kita mungkin tidak akan pernah bisa menyatukan dua narasi sejarah yang telah terpisah selama 1400 tahun. Meminta salah satu pihak untuk meninggalkan keyakinan yang telah membentuk identitas mereka selama berabad-abad adalah sebuah kemustahilan.
Tetapi, kita selalu bisa memilih bagaimana merespons luka lama ini. Kita bisa memilih untuk terus mewarisi kebenciannya, saling melukai dengan kutipan-kutipan sejarah versi kita. Atau, kita bisa mengambil jalan yang lebih bijaksana: mengakui bahwa kita melihat sejarah dari sudut yang berbeda, dan memfokuskan energi kita pada ruang kemanusiaan yang masih kita pijak bersama.
Pada akhirnya, ini bukan lagi tentang siapa yang merebut kekuasaan di Saqifah pada abad ke-7. Ini tentang apakah kita, di abad ke-21, akan membiarkan hantu-hantu masa lalu itu terus menyandera masa depan kita dalam sebuah permusuhan abadi. Jawabannya ada pada pilihan kita untuk berhenti menjadi pewaris kebencian, dan mulai menjadi perajut pemahaman.
Inspirasi tulisan: Channel youtube syekh Muhammad Alfuli.
Post a Comment
2. Komentar sensitif akan dihapus
3. Gunakan bahasa yang sopan dan saling menghargai perbedaan pendapat dan sudut pandang