Tidak Bermadzhab Bukan Berarti Anti-Madhhab: Memahami Manhaj Tarjih Muhammadiyah
![]() |
Ust. Aly Aulia, Lc, M.Hum dengan tema: kenapa Muhammadiyah tidak bermadzhab? |
Pertanyaan "Mengapa Muhammadiyah tidak bermadzhab?" adalah salah satu pertanyaan yang paling sering diajukan dan telah menjadi bagian dari identitas pemikiran keagamaan organisasi ini. Dalam sebuah kajian mendalam yang disampaikan oleh Ust. Aly Aulia, Lc, M.Hum dengan tema: kenapa Muhammadiyah tidak bermadzhab? dijelaskan bahwa sikap ini bukanlah sebuah penolakan, melainkan sebuah pilihan metodologis (manhaji) yang didasarkan pada prinsip-prinsip fundamental dalam memahami ajaran Islam.
Sikap ini bukanlah hal baru, melainkan sebuah pendirian yang telah lama tersosialisasi dan bahkan menjadi fatwa resmi dari Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Berikut adalah penjabaran lengkap mengenai alasan dan cara pandang Muhammadiyah dalam isu ini.
Fondasi Beragama: Kembali pada Al-Qur'an dan As-Sunnah
Titik tolak pemikiran Muhammadiyah adalah definisi Dinul Islam itu sendiri, yaitu agama yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW, dengan sumber utama Al-Qur'an dan As-Sunnah yang maqbulah (diterima). Dari definisi ini, Muhammadiyah menetapkan prinsip untuk merujuk langsung kepada kedua sumber otentik tersebut dalam setiap penetapan hukum. Hal ini sejalan dengan wasiat Rasulullah SAW yang menyerukan umatnya untuk selalu berpegang teguh pada Kitabullah dan Sunnah Rasul agar tidak tersesat.
Prinsip Manhaji, Bukan Madhhabi
Muhammadiyah tidak menggunakan prinsip madzhabi (mengikatkan diri pada satu madzhab fikih tertentu), melainkan prinsip manhaji (menggunakan metode yang jelas). Artinya, Muhammadiyah tidak mengikuti produk akhir atau fatwa dari seorang imam madzhab secara mutlak, tetapi berupaya mengikuti metode yang digunakan oleh para imam tersebut dalam menggali hukum, yaitu ber-ijtihad langsung dari Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Dengan pendekatan manhaji ini, Muhammadiyah senantiasa membuka pintu ijtihad untuk menjawab persoalan-persoalan kontemporer yang terus berkembang.
Semangat Tajdid: Purifikasi dan Dinamisasi
Wawasan tajdid (pembaruan) menjadi ciri khas lain dari Muhammadiyah. Tajdid ini memiliki dua dimensi:
1. Purifikasi (Pemurnian): Dalam aspek ajaran yang bersifat tetap, seperti akidah dan ibadah mahdhah (ritual khusus), tajdid dimaknai sebagai pemurnian. Tujuannya adalah mengembalikan praktik keagamaan sesuai dengan tuntunan asli dari Al-Qur'an dan Sunnah, serta membersihkannya dari tambahan-tambahan (bid'ah) dan kepercayaan yang menyimpang (khurafat).
2. Dinamisasi (Pembaharuan): Dalam aspek yang bersifat terbuka, yaitu muamalah duniawiyah (urusan kemasyarakatan), tajdid dimaknai sebagai pembaharuan dan modernisasi. Muhammadiyah berupaya merumuskan respons yang dinamis dan inovatif terhadap perkembangan zaman, seperti penggunaan metode hisab dalam penentuan waktu ibadah, selama tidak bertentangan dengan prinsip syariat.
Posisi Madzhab dalam Ijtihad Muhammadiyah
Slogan yang paling tepat untuk menggambarkan posisi Muhammadiyah adalah "tidak berafiliasi pada madzhab, namun tidak anti-madzhab." Ini berarti:
- Muhammadiyah sangat menghormati para imam madzhab seperti Imam Syafi'i, Maliki, Hanafi, dan Hambali sebagai para mujtahid agung.
- Pendapat dan fatwa dari berbagai madzhab tersebut dijadikan sebagai referensi dan bahan pertimbangan yang sangat kaya dalam proses ijtihad kolektif yang dilakukan oleh Majelis Tarjih.
- Muhammadiyah tidak mengikatkan diri karena memandang bahwa pendapat para imam madzhab, meskipun sangat berharga, bukanlah kebenaran mutlak layaknya Al-Qur'an dan Sunnah. Pendapat mereka relevan dengan konteks zaman dan tempat mereka hidup, dan mungkin memerlukan peninjauan kembali untuk konteks masa kini.
Sikap ini, menurut narasumber, justru merupakan bentuk penghormatan tertinggi kepada para imam madzhab itu sendiri. Para imam agung tersebut secara tegas melarang para pengikutnya untuk taqlid (mengikuti secara buta) kepada mereka. Mereka justru mendorong umat untuk menggali dari sumber tempat mereka mengambil, yaitu Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Kesimpulan: Toleransi dalam Perbedaan
Karena Muhammadiyah mendasarkan keputusannya pada hasil ijtihad manusiawi, maka setiap putusan Tarjih tidak pernah diklaim sebagai kebenaran final yang menafikan pendapat lain. Hal ini menumbuhkan sikap toleransi (tasamuh) dan keterbukaan terhadap perbedaan pendapat, selama perbedaan tersebut juga didasarkan pada dalil dan metode yang bisa dipertanggungjawabkan.
Sumber: Channel Youtube K.H Ahmad Dahlan UMY
Post a Comment
2. Komentar sensitif akan dihapus
3. Gunakan bahasa yang sopan dan saling menghargai perbedaan pendapat dan sudut pandang