Tarjih Menjawab: Meluruskan Makna Poligami Episode 29
Diskursus mengenai poligami kerap kali disederhanakan menjadi bahan candaan dalam beberapa ceramah, sebuah fenomena yang dikritik karena berpotensi merendahkan martabat perempuan dan syariat itu sendiri. Dalam sebuah kajian mendalam, Ust. H. Mukhlis Rahmanto, Lc, MA, Ph.D. mengupas tuntas pandangan Islam mengenai poligami, meluruskannya dari sekadar pemenuhan hasrat individu menjadi sebuah solusi kondisional dengan tanggung jawab yang amat berat.
Kajian ini menegaskan bahwa untuk memahami poligami secara utuh, kita harus kembali pada prinsip dasar pernikahan dalam Islam serta konteks sejarah turunnya ayat-ayat terkait.
Prinsip Dasar: Monogami dan Kesetaraan
Berlawanan dengan anggapan umum yang sering muncul dari budaya patriarki, Islam pada dasarnya menjunjung tinggi kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Prinsip utama yang dianjurkan dalam pernikahan pun adalah monogami, yaitu ikatan antara satu suami dan satu istri.
"Tujuan utama pernikahan adalah untuk membentuk keluarga yang sakinah (tenang, damai), mawaddah (cinta), dan rahmah (kasih sayang)," papar Ust. Mukhlis Rahmanto. Ketenangan dan kedamaian ini, menurutnya, cenderung lebih mudah terwujud dalam ikatan monogami, yang juga lebih kondusif untuk menghasilkan generasi berkualitas secara fisik dan rohani.
Konteks Sejarah: Solusi Darurat Sosial, Bukan Darurat Individu
Salah satu poin terpenting dalam kajian ini adalah penekanan pada konteks turunnya ayat Al-Qur'an yang mengizinkan poligami (QS An-Nisa: 3). Izin ini, tegas Ust. Mukhlis Rahmanto, turun sebagai respons atas kondisi darurat sosial, bukan darurat individu.
Pasca Perang Uhud, banyak sahabat gugur sebagai syuhada, meninggalkan para istri menjadi janda dan anak-anak menjadi yatim. Dalam kondisi sosial yang genting inilah, poligami diizinkan sebagai mekanisme untuk memberikan perlindungan, santunan, dan kasih sayang kepada para janda dan anak yatim tersebut.
Jadi, poligami bukanlah karena dorongan syahwat atau ego, melainkan untuk mengatasi masalah sosial yang lebih besar," jelasnya. Hal ini juga tercermin dalam praktik poligami Nabi Muhammad SAW, yang sebagian besar istrinya adalah janda.
Syarat Keadilan dan Peran Negara
Syarat utama bagi seorang pria yang hendak berpoligami adalah kemampuannya untuk berlaku adil. Keadilan ini tidak hanya diukur dari segi materi (nafkah lahir), tetapi juga yang lebih sulit, yakni keadilan batiniah seperti perlakuan dan kasih sayang. Al-Qur'an sendiri mengingatkan bahwa manusia cenderung sulit untuk bisa berlaku adil secara sempurna.
Di Indonesia, kompleksitas ini diatur oleh negara melalui Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Undang-Undang Perkawinan. Seorang suami yang ingin berpoligami wajib mendapatkan izin dari istri sebelumnya dan harus melalui proses di pengadilan. Pengadilan akan menilai apakah syarat-syarat, terutama kemampuan untuk berlaku adil, telah terpenuhi.
Peran negara dalam mencatat pernikahan juga sangat krusial. Pernikahan yang tidak tercatat oleh negara (nikah siri) sangat tidak dianjurkan karena tidak memberikan perlindungan hukum yang jelas bagi hak-hak istri dan anak, misalnya dalam hal warisan.
Poligami vs Perselingkuhan
Ust. Mukhlis Rahmanto juga secara tegas membedakan antara poligami dan perselingkuhan. Perselingkuhan adalah dosa besar yang merusak ikatan suci pernikahan dan menghancurkan tujuan sakinah. Sementara itu, poligami yang sah menurut agama dan negara memiliki akad resmi dan membawa konsekuensi tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh suami.
Pada akhirnya, kajian ini menyimpulkan bahwa Islam membatasi praktik poligami yang sebelumnya tanpa batas di era pra-Islam, dan mengembalikannya pada rel kedaruratan sosial dengan syarat keadilan yang sangat ketat. Monogami tetap menjadi jalan utama untuk membangun keluarga yang damai dan masyarakat yang kokoh.
Sumber: channel youtube tarjih
Post a Comment
2. Komentar sensitif akan dihapus
3. Gunakan bahasa yang sopan dan saling menghargai perbedaan pendapat dan sudut pandang