SPMB 2025: Mengurai Benang Kusut PPDB dengan Jarum Baru
![]() |
Ilustrasi gambar dari channel youtube kemendikdasmen |
Setiap pertengahan tahun, ada sebuah "musim" yang datang dengan kecemasan kolektif bagi jutaan orang tua di Indonesia: musim Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Sebuah ritual tahunan yang kerap terasa seperti medan pertempuran ketimbang proses seleksi pendidikan. Lahirlah istilah "jalur Gaza" untuk menggambarkan sengitnya persaingan di perbatasan zonasi, hingga praktik "titip KK" yang menjadi rahasia umum.
Kini, pemerintah datang dengan jurus baru, sebuah nama baru yang menjanjikan harapan baru: Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) 2025. Pertanyaannya sederhana namun fundamental: apakah ini sekadar pergantian label, atau sebuah reformasi sejati yang mampu mengurai benang kusut yang ditinggalkan PPDB?
Melihat cetak birunya, SPMB bukanlah sekadar ganti nama. Ia adalah pengakuan atas kelemahan sistem sebelumnya. Kebijakan ini secara eksplisit mengevaluasi sistem zonasi berbasis radius yang kaku, yang secara ironis menciptakan ketidakadilan di depan gerbang sekolah. Logika sederhana—bahwa seorang anak yang rumahnya hanya berbeda beberapa ratus meter bisa terlempar karena garis imajiner—akhirnya dikoreksi dengan basis "domisili" yang lebih masuk akal secara administratif.
Pemerintah tampaknya belajar dari pengalaman. SPMB dirancang dengan empat jalur utama—domisili, prestasi, afirmasi, dan mutasi—yang bukan hal baru, tetapi kini diperkuat dengan aturan main yang lebih ketat. Ini adalah upaya untuk membangun benteng pertahanan terhadap praktik curang yang selama ini mencederai semangat keadilan.
Benteng itu dibangun dari beberapa lapis. Pertama, penguncian data di Dapodik pada tanggal tertentu untuk memitigasi manipulasi data di menit-menit akhir. Kedua, aturan domisili yang dikunci minimal satu tahun, lengkap dengan syarat hubungan darah jika menumpang, menjadi pukulan telak bagi para "calon siswa musiman". Dan yang paling mengancam, sanksi penghentian dana BOS bagi sekolah yang berani bermain api. Ini bukan lagi sekadar imbauan moral, tetapi ancaman finansial yang serius.
Namun, secanggih apa pun sistemnya, ia akan diuji oleh realitas di lapangan. Contoh dari Tangerang Selatan adalah potret jujur tantangan kita: 25.000 lulusan SD berebut 7.000 kursi di SMP negeri. Ini adalah alarm bahwa masalah kita bukan hanya soal sistem distribusi, tetapi juga soal keterbatasan daya tampung.
Di sinilah paradigma kita harus bergeser. Kebijakan SPMB yang mewajibkan Pemda membantu siswa yang tak tertampung di sekolah negeri untuk bersekolah di swasta adalah langkah progresif. Pesannya jelas: pendidikan berkualitas bukanlah monopoli sekolah berpelat merah. Sekolah swasta harus berhenti dipandang sebagai pilihan kelas dua, dan sebaliknya, mereka juga ditantang untuk terus meningkatkan mutu agar menjadi mitra setara dalam ekosistem pendidikan nasional.
Pada akhirnya, SPMB 2025 adalah sebuah kerangka kerja, bukan tongkat sihir. Keberhasilannya tidak terletak di atas kertas Permendikbud, tetapi pada integritas pelaksanaannya. Ia membutuhkan pengawalan kolektif: dari aparat daerah yang menolak intervensi, kepala sekolah yang berpegang pada aturan, hingga orang tua yang membuang jauh-jauh mentalitas "asal masuk negeri".
Jangan lagi kita terjebak pada janji-janji calo atau pihak tak bertanggung jawab. Aturan main sudah digelar. Kini saatnya kita bersama-sama memastikan bahwa tujuan mulia di balik sistem ini—pendidikan yang merata, adil, dan bermutu untuk semua—benar-benar terwujud, bukan hanya menjadi mimpi indah di tahun-tahun berikutnya.
Post a Comment
2. Komentar sensitif akan dihapus
3. Gunakan bahasa yang sopan dan saling menghargai perbedaan pendapat dan sudut pandang