Rapor Merah Matematika Kita dan Resep Rahasia Singapura

Table of Contents
Ilustrasi gambar dari channel youtube
BBC News Indonesia

Setiap kali Program for International Student Assessment (PISA) merilis peringkatnya, ada satu tradisi yang tak pernah absen di Indonesia: helaan napas kolektif. Pada PISA 2022, rapor kita kembali dihiasi warna merah. Untuk urusan matematika, kita terdampar di peringkat 69 dari 81 negara. Sementara itu, di puncak singgasana, dengan nyaman duduk Singapura, sang juara dunia matematika sejak tahun 2000.

Pertanyaannya bukan lagi "mengapa nilai kita rendah?", melainkan "apa resep rahasia yang dimiliki Singapura dan negara-negara jawara lainnya yang belum kita temukan?" Jawabannya, ternyata, bukanlah tentang menambah jam pelajaran atau memaksa siswa menghafal lebih banyak rumus. Jawabannya jauh lebih filosofis dan fundamental.

Jika kita menengok praktik di negara-negara berprestasi tinggi, satu benang merah yang terlihat jelas adalah upaya mereka untuk membumikan matematika. Di sana, matematika bukanlah monster abstrak yang hidup di papan tulis, melainkan alat untuk menaklukkan tantangan hidup. Di Kanada, siswa belajar anggaran dengan merancang belanjaan. Di Finlandia, anak-anak usia 11 tahun merancang kota mini, lengkap dengan peran sebagai konsumen dan warga negara. Matematika menjadi relevan, bermakna, dan bahkan menyenangkan.

Sementara itu, di Estonia, matematika tidak lagi terkurung dalam satu mata pelajaran. Konsepnya diintegrasikan ke dalam kelas bahasa, musik, hingga olahraga. Mereka membuktikan bahwa logika berhitung bisa ditemukan dalam ritme lagu atau strategi permainan. Ini adalah sebuah antitesis dari sistem kita yang sering kali kaku dan tersekat-sekat.

Namun, resep paling krusial dari Singapura tampaknya terletak pada satu elemen sentral: Sang Guru. Di Negeri Singa, menjadi guru adalah sebuah profesi yang teramat bergengsi, dengan proses seleksi yang super ketat dan gaji yang menggiurkan. Seorang guru matematika di sana tidak cukup hanya mengantongi satu gelar sarjana; mereka wajib memiliki dua, satu dalam ilmu matematika murni, satu lagi dalam pemikiran komputasional dan pendidikan.

Mereka bukan sekadar pengajar, melainkan arsitek kurikulum yang didukung penuh oleh program pelatihan dan bimbingan tanpa henti. Ini adalah sebuah tamparan keras bagi kita, di mana profesi guru sering kali masih dipandang sebelah mata dan kesejahteraannya jauh dari ideal. Bagaimana mungkin kita mengharapkan hasil setara Singapura jika kita belum memperlakukan guru kita setara dengan mereka?

Lalu bagaimana dengan teknologi? Menariknya, negara-negara ini justru sangat berhati-hati. Di tengah gempuran gawai, Inggris dan Singapura justru membatasi penggunaan ponsel di kelas. Namun di sisi lain, mereka mewajibkan pemrograman (coding) sejak dini. Pesannya jelas: teknologi adalah alat untuk mengasah nalar dan memecahkan masalah, bukan sekadar untuk hiburan atau distraksi.

Pada akhirnya, jalan untuk memperbaiki rapor merah matematika kita bukanlah jalan pintas, melainkan sebuah maraton reformasi sistemik. Kita perlu merombak kurikulum kita agar lebih relevan dengan denyut nadi kehidupan. Tetapi yang paling utama, kita harus memulai revolusi dalam cara kita memandang dan menghargai profesi guru.

Karena tanpa guru yang berkualitas, sejahtera, dan dihormati, kurikulum secanggih apa pun hanya akan menjadi dokumen tak bernyawa. Investasi terbesar dan paling mendesak bukanlah pada tablet atau proyektor, melainkan pada manusia yang berdiri di depan kelas. Itulah resep rahasia yang sesungguhnya.

Sumber: Channel Youtube BBC News Indonesia

Post a Comment