PPG 2025: Transformasi Kilat dan Teka-Teki Pembiayaan Guru Agama
![]() |
Ilustrasi image dibuat oleh gemini |
Gelombang perubahan kembali menerjang lanskap pendidikan guru di Tanah Air. Jika tahun-tahun sebelumnya Pendidikan Profesi Guru (PPG) dikenal dengan ritme yang relatif panjang dan interaksi intensif, tahun 2025 menjanjikan kejutan: PPG Transformatif dengan durasi mencengangkan, hanya 40 hari. Sebuah kilatan proses yang menimbulkan tanya, mampukah kualitas tetap terjaga dalam kecepatan ini?
Skema baru ini, setidaknya pada Batch 2, secara spesifik menyasar para guru Pendidikan Agama Islam (PAI) yang mengabdi di sekolah umum, dari taman kanak-kanak hingga sekolah menengah kejuruan. Ada pengecualian menarik di sini: rekan-rekan guru PAI di madrasah tidak termasuk dalam gerbong transformasi kilat ini. Sebuah pembedaan yang tentu memantik pertanyaan tentang disparitas kebijakan.
Salah satu sorotan utama adalah soal pendanaan. PPG Transformasi Batch 2 ini mengandalkan sepenuhnya kucuran dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Fakta bahwa peserta yang terpanggil pada gelombang ini umumnya adalah mereka yang pembiayaannya bersumber dari APBD mengindikasikan adanya peran aktif pemerintah daerah dalam meningkatkan kompetensi guru agama di wilayahnya. Namun, ini juga memunculkan ironi: bagaimana nasib guru di daerah yang alokasi APBD untuk pendidikan masih minim?
Mekanisme pemanggilan peserta pun mengalami pergeseran signifikan. Para guru PAI kini harus memantau aplikasi SIAGA, sebuah platform yang menjadi satu-satunya jendela informasi. SIM PKB, yang selama ini menjadi rumah informasi bagi guru, kali ini tak berperan. Sebuah perubahan kanal komunikasi yang menuntut adaptasi cepat dari para pendidik.
Lebih lanjut, model pembelajaran dalam PPG Transformatif ini mengusung semangat kemandirian. Peserta akan berinteraksi langsung dengan aplikasi, menyelesaikan tugas-tugas tanpa bimbingan tatap muka dari dosen maupun guru pamong. Sebuah pendekatan yang di satu sisi menuntut kedisiplinan dan kemandirian belajar tinggi, namun di sisi lain berpotensi menimbulkan kesenjangan pemahaman, terutama bagi guru yang kurang familiar dengan teknologi.
Di tengah perubahan yang serba cepat ini, muncul inisiatif Bimbingan Belajar (Bimbel) yang menawarkan pendampingan bagi guru PAI. Bukan sebagai joki yang mengerjakan tugas, melainkan sebagai mentor yang memberikan kiat dan trik untuk menaklukkan tantangan PPG. Janji bimbingan berkelanjutan hingga lulus, bahkan jika gagal di angkatan pertama, tentu menjadi angin segar. Namun, tetap saja muncul pertanyaan kritis: mengapa pendampingan eksternal dibutuhkan jika program PPG itu sendiri dirancang efektif?
Yang tak kalah penting adalah himbauan sekaligus peringatan. Para guru PAI didorong untuk aktif melobi pemerintah daerah masing-masing agar mengalokasikan dana APBD untuk PPG. Sebuah perjuangan yang menggarisbawahi otonomi daerah dalam kebijakan pendidikan. Di sisi lain, kewaspadaan terhadap praktik penipuan menjadi krusial. Mengingat biaya PPG ditransfer langsung ke Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK), guru diingatkan untuk tidak mudah percaya pada oknum yang menjanjikan kelulusan atau pemanggilan dengan imbalan sejumlah uang.
PPG Transformatif 2025 adalah sebuah babak baru dalam upaya peningkatan kualitas guru. Namun, di balik kecepatan dan kemandirian yang ditawarkan, tersimpan sejumlah pertanyaan mendasar. Apakah transformasi kilat ini akan berbanding lurus dengan kualitas lulusan? Bagaimana nasib guru di daerah dengan keterbatasan anggaran? Dan mampukah sistem yang serba digital ini menjangkau seluruh pelosok negeri secara merata? Jawabannya akan teruji dalam implementasi kebijakan yang baru saja dimulai ini.
Post a Comment
2. Komentar sensitif akan dihapus
3. Gunakan bahasa yang sopan dan saling menghargai perbedaan pendapat dan sudut pandang