Membedah Konsep Tawasul: Perspektif Al-Qur'an dan Sunnah Menurut Kajian Tarjih Muhammadiyah
![]() |
Ustaz Asep Salahuddin, S.Ag., M.Pd.I anggota Divisi Fatwa dan Pengembangan Tuntunan. |
Pertanyaan mengenai praktik tawasul—menggunakan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah—sering kali menjadi topik diskusi hangat di kalangan umat Islam, termasuk di lingkungan Muhammadiyah. Untuk menjawab pertanyaan "Adakah tawasul ala Muhammadiyah?", Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah menghadirkan kajian mendalam yang dibawakan oleh Ustaz Asep Salahuddin, S.Ag., M.Pd.I, anggota Divisi Fatwa dan Pengembangan Tuntunan.
Dalam kajian edisi ke-307 tersebut, Ustaz Asep menegaskan bahwa meski belum ada buku khusus dari Majelis Tarjih yang membahas tawasul secara spesifik, tuntunannya dapat digali langsung dari sumber utama Islam, yakni Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Memahami Makna Mendasar Wasilah dan Tawasul
Kajian dimulai dengan merujuk pada landasan utama praktik ini, yaitu Surat Al-Maidah ayat 35, yang artinya: "Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan yang mendekatkan diri) kepada-Nya, dan berjihadlah di jalan-Nya, agar kamu beruntung."
Ustaz Asep Salahuddin menjelaskan bahwa al-wasilah adalah sarana, sementara at-tawasul adalah perbuatan mencari sarana tersebut. Dalam berdoa, terdapat tiga unsur utama: al-mutawassal ilaihi (Allah SWT, Dzat yang dimintai permohonan), al-mutawassil (hamba yang memohon), dan al-mutawassal bihi (sesuatu yang dijadikan sarana atau perantara).
Agar tawasul diterima, syarat utamanya adalah niat yang ikhlas karena Allah, dilakukan oleh orang yang beriman dan saleh, serta sarana yang digunakan adalah amalan yang disyariatkan dan sesuai dengan contoh Rasulullah SAW. Berdasarkan batasan ini, tawasul terbagi menjadi dua kategori utama: yang disyariatkan (masyru') dan yang dilarang (mamnu').
Bentuk-Bentuk Tawasul yang Disyariatkan
Berdasarkan dalil-dalil yang ada, Majelis Tarjih menggariskan beberapa bentuk tawasul yang dibolehkan, antara lain:
1. Bertawasul dengan Asmaul Husna: Ini adalah bentuk tawasul tertinggi, di mana seorang hamba berdoa dengan menyebut nama-nama dan sifat-sifat Allah yang mulia. Misalnya, saat memohon rezeki ia menyebut "Yaa Razzaq," atau saat memohon ampunan ia menyebut "Yaa Ghafur, Yaa Rahim."
2. Bertawasul dengan Amal Saleh Pribadi: Seseorang dapat menjadikan amal saleh yang telah ia lakukan dengan ikhlas—seperti salat, puasa, sedekah, atau bakti kepada orang tua—sebagai perantara dalam doanya. Hal ini didasarkan pada hadis sahih tentang tiga orang yang terperangkap di dalam gua dan berdoa dengan menyebut amal saleh terbaik mereka hingga Allah memberikan pertolongan.
3. Bertawasul melalui Doa Orang Saleh yang Masih Hidup: Seseorang diperbolehkan meminta didoakan oleh orang lain yang diyakini kesalehannya dan masih hidup, seperti orang tua, guru, atau ulama. Praktik ini mencontoh para sahabat yang pernah meminta doa kepada Nabi Muhammad SAW.
4. Bertawasul dengan Menunjukkan Kelemahan Diri dan Mengakui Dosa: Ini adalah bentuk kerendahan hati di hadapan Allah. Dengan mengakui kelemahan, kebutuhan, serta dosa-dosa yang telah diperbuat, seorang hamba menunjukkan kepasrahan total sebelum memanjatkan permohonannya, sebagaimana yang dicontohkan oleh para nabi.
Praktik Tawasul yang Dilarang dan Berpotensi Syirik
Ustaz Asep juga menekankan adanya bentuk-bentuk tawasul yang dilarang keras karena dapat merusak kemurnian akidah.
1. Meminta Pertolongan kepada Orang yang Telah Wafat: Ini adalah praktik yang paling sering disalahpahami. Memohon, meminta pertolongan, atau berdoa kepada penghuni kubur, meskipun ia seorang nabi atau wali, termasuk dalam perbuatan syirik. Ziarah kubur disyariatkan untuk mendoakan si mayit dan mengingat kematian, bukan untuk meminta sesuatu kepada mereka.
2. Menggunakan Kedudukan atau Kehormatan Orang Saleh: Tidak diperbolehkan berdoa kepada Allah dengan perantara kemuliaan atau kedudukan orang saleh, baik yang masih hidup maupun sudah wafat. Misalnya, berdoa dengan ucapan "Ya Allah, demi kemuliaan Syekh Fulan, kabulkanlah doaku." Doa seharusnya ditujukan langsung kepada Allah tanpa perantara kedudukan makhluk-Nya.
Penutup: Pentingnya Ilmu dalam Beribadah
Sebagai kesimpulan, kajian ini menegaskan bahwa tawasul adalah bagian dari ajaran Islam, namun pelaksanaannya memiliki batasan yang sangat jelas. Umat diimbau untuk tidak taklid buta dan senantiasa mendasarkan amalan ibadahnya pada dalil yang sahih dan dapat dipertanggungjawabkan.
Memahami perbedaan antara tawasul yang disyariatkan dan yang dilarang adalah kunci untuk menjaga kemurnian akidah dari kesyirikan dan melindungi ibadah dari perbuatan bid'ah.
Sumber: youtube tarjih channel
Post a Comment
2. Komentar sensitif akan dihapus
3. Gunakan bahasa yang sopan dan saling menghargai perbedaan pendapat dan sudut pandang