Darurat Literasi, Defisit Nalar, dan Degradasi Adab: Trias Problematika Bahasa Kita

Table of Contents
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu'ti, dalam sebuah pertemuan dengan para guru Bahasa Indonesia

Indonesia tengah menghadapi sebuah krisis yang lebih senyap dari hiruk pikuk politik, namun bisa jadi jauh lebih fundamental: krisis bahasa. Kegalauan ini bukan datang dari pengamat atau akademisi di menara gading, melainkan disuarakan langsung oleh Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu'ti, dalam sebuah pertemuan dengan para guru Bahasa Indonesia, dalam acara "Pak Menteri Menyapa Guru Bahasa Indonesia" di Gedung A Kemendikdasmen, Senayan, Jakarta, Selasa (24/6/2025).

Dalam pandangannya, persoalan ini bukan sekadar urusan ejaan atau tata bahasa, melainkan sebuah “trias problematika”—tiga serangkai patologi yang saling berkelindan dan mengancam kesehatan nalar serta keadaban kita sebagai bangsa.

Patologi pertama adalah darurat literasi fungsional. Menteri Abdul Mu'ti dengan tajam menunjukkan sebuah paradoks. Secara harfiah, mayoritas dari kita bisa membaca, namun banyak yang gagal memahami makna di balik untaian aksara. Kita adalah bangsa pembaca tulisan, tetapi belum tentu menjadi bangsa pemakna gagasan. 

"Masalahnya bukan sekadar tidak bisa membaca aksara, tetapi kurangnya pemahaman fungsional atau functional reading," tegasnya. Inilah akar dari ketidakmampuan mencerna informasi kompleks, mudah termakan hoaks, dan kesulitan menarik kesimpulan dari sebuah teks.

Dari darurat literasi, lahir patologi kedua: defisit nalar. Menteri menyoroti hubungan tak terpisahkan antara kemampuan berbahasa dengan kemampuan berpikir (reading and thinking). Ia mengeluhkan betapa seringnya menemukan tulisan dalam Bahasa Indonesia dengan “alur nalar yang sering berputar-putar,” hingga gagasan utamanya terkubur dalam labirin kalimat yang tidak efisien. 

Ini bukan sekadar persoalan gaya penulisan, melainkan cerminan dari cara berpikir yang tidak terstruktur. Jika bahasa adalah rumah bagi pikiran, maka rumah yang kita bangun sering kali berantakan, tanpa fondasi logika yang kokoh.

Puncak dari kedua masalah ini adalah patologi ketiga, yang paling terasa dalam kehidupan sehari-hari: degradasi keadaban berbahasa. Ketika literasi dangkal dan nalar tumpul, yang tersisa hanyalah emosi mentah. 

Ruang-ruang digital kita, menurut Menteri, telah berubah menjadi arena caci maki di mana empati menjadi barang langka.

Mengutip riset "Digital Civility Index" 2020 dari Microsoft—yang dirilis pada Februari 2021—yang menempatkan Indonesia di papan bawah dalam hal kesopanan digital, ia melukiskan betapa kata-kata kasar dan kotor telah menjadi kelaziman yang mengerikan.

Ungkapan "bahasa menunjukkan bangsa" kini terasa getir. Bahasa kita tidak lagi hanya menunjukkan identitas, tetapi juga memperlihatkan tingkat keadaban yang mengkhawatirkan. 

Menteri Abdul Mu'ti dengan cermat membedakan antara voice (suara yang bermakna) dengan noise (kegaduhan). Apa yang kita saksikan di banyak percakapan publik saat ini, menurutnya, lebih banyak noise ketimbang voice. Sebuah kegaduhan tanpa substansi, di mana prinsip "diam itu emas" telah lama ditinggalkan demi kebebasan berbicara yang kebablasan.

Seruan Menteri ini pada akhirnya adalah sebuah panggilan mendesak, terutama bagi para guru bahasa. Tugas mereka kini melampaui sekadar mengajarkan S-P-O-K. Tugas mereka adalah mengajarkan cara berpikir, membangun argumen, memahami konteks, dan yang terpenting, mengembalikan adab dalam setiap kata yang terucap dan tertulis. Sebab, membenahi bahasa adalah ikhtiar membenahi bangsa. Dan ikhtiar itu harus dimulai sekarang, sebelum kegaduhan menenggelamkan semua suara akal sehat kita.

Sumber inspirasi tulisan: Channel Youtube Nusantara Tv

Post a Comment