Cerpen: Jalan Yang Terlupakan
Table of Contents
![]() |
Pergaulan Bebas |
Sore itu hujan turun deras membasahi kota. Sari duduk terdiam di sudut kamarnya, menatap kosong ke arah jendela yang berembun. Ponselnya berdering tanpa henti, namun ia tak bergeming. Nama "Doni" terus muncul di layar.
Tiga bulan lalu, hidupnya masih teratur. Sari dikenal sebagai siswa berprestasi di SMA Negeri 5. Ranking lima besar, aktif di organisasi siswa, dan menjadi kebanggaan Bu Ratna, ibunya yang berprofesi sebagai guru di sekolah lain. Namun semuanya berubah sejak ia mengenal Doni.
Doni adalah siswa pindahan dari Jakarta. Gaya bicara dan penampilannya yang percaya diri langsung menarik perhatian banyak siswa, terutama para siswi. Ia sering bercerita tentang kehidupan bebas di kota besar, pesta-pesta remaja, dan pergaulan yang menurutnya "modern."
"Kamu terlalu kuno, Sari," kata Doni suatu hari ketika mereka berbincang di kantin. "Hidup itu harus dinikmati. Masa muda cuma sekali."
Awalnya Sari menolak ajakan-ajakan Doni untuk ikut ke tempat-tempat hiburan malam atau berkumpul hingga larut. Namun lama-kelamaan, kata-kata Doni mulai mempengaruhinya. Rasa ingin tahu dan takut dianggap "kampungan" membuat Sari perlahan mengikuti gaya hidup Doni.
Maya, sahabat sejak kecil, mulai menjauh. "Sari, kamu berubah," katanya dengan nada prihatin. "Aku khawatir sama kamu."
"Ah, kamu ini ketinggalan zaman, Maya. Hidup harus berani mencoba hal baru," balas Sari sambil memainkan rambutnya yang kini diwarnai pirang.
Prestasi Sari mulai menurun. Nilai-nilainya merosot, ia sering bolos sekolah, dan pulang larut malam dengan berbagai alasan. Bu Ratna yang sibuk mengajar dan mengurus rumah sendirian sejak suaminya meninggal, tidak menyadari perubahan drastis pada putrinya.
Puncaknya terjadi pada malam itu. Doni mengajak Sari ke sebuah pesta di rumah temannya. "Santai aja, cuma kumpul-kumpul biasa," katanya. Namun setibanya di sana, Sari melihat hal-hal yang membuatnya tidak nyaman. Ada minuman keras, rokok, dan tingkah laku yang melewati batas kesopanan.
"Ayo, jangan cuma diam. Ikut aja," Doni menarik tangan Sari.
Sari merasa terjebak. Hatinya menolak, namun gengsi dan takut dikucilkan membuatnya terdiam. Malam itu, ia melakukan hal-hal yang selama ini ia hindari. Pulang dini hari dengan kondisi yang tidak sadarkan diri.
Bu Ratna menunggu di ruang tamu dengan mata merah. "Sari, apa yang terjadi dengan kamu?"
Tangis histeris Sari pecah. Semua beban yang ia pendam selama ini tumpah ruah. Bu Ratna memeluk putrinya erat, ikut menangis melihat kondisi anak yang begitu disayanginya.
Keesokan harinya, Pak Hendra, guru BK, memanggil Sari ke ruangannya. Ternyata ada laporan tentang kegiatan pesta semalam dari warga sekitar.
"Sari, kamu tahu apa akibat dari pergaulan bebas ini?" tanya Pak Hendra dengan lembut namun tegas. "Prestasi hancur, masa depan terancam, kesehatan terganggu, dan yang paling penting, kamu mengecewakan orang-orang yang sayang sama kamu."
Sari terdiam. Ia teringat mimpi-mimpinya dulu untuk menjadi dokter, keinginannya membahagiakan ibunya, dan masa depan cerah yang kini tampak suram.
"Tapi tidak ada kata terlambat, Sari. Kamu masih bisa berubah. Yang penting ada kemauan dan dukungan orang-orang yang peduli."
Proses perubahan tidak mudah. Doni dan teman-temannya mengejek Sari yang kembali ke "jalan lama." Namun Maya dengan setia mendampingi sahabatnya. Bu Ratna juga mengambil cuti untuk lebih memperhatikan Sari.
"Ibu tidak menyalahkan kamu, Nak. Ibu yang salah karena kurang memperhatikan. Sekarang kita sama-sama belajar," kata Bu Ratna sambil mengusap kepala putrinya.
Perlahan, Sari mulai bangkit. Ia bergabung kembali dengan kegiatan positif di sekolah, les tambahan untuk mengejar ketertinggalan, dan mulai membangun kembala hubungan baik dengan teman-teman yang sempat ia abaikan.
Suatu hari, Sari bertemu Doni di koridor sekolah. Pemuda itu tampak pucat dan kurus.
"Sari, aku... aku sakit. Dokter bilang aku kena penyakit karena gaya hidup yang salah," kata Doni dengan suara lemah.
Sari merasakan campuran perasaan. Kasihan, namun juga bersyukur karena ia berhasil keluar dari lingkaran pergaulan yang merusak itu sebelum terlambat.
"Doni, belum terlambat untuk berubah. Aku bisa membantu kalau kamu mau," tawar Sari tulus.
Setahun kemudian, Sari berhasil lulus dengan nilai yang memuaskan dan diterima di fakultas kedokteran impiannya. Dalam pidato perpisahan sebagai perwakilan siswa, ia berkata:
"Teman-teman, pergaulan bebas mungkin terlihat menyenangkan dan modern. Tapi di balik itu, ada konsekuensi yang harus kita tanggung. Penyesalan, masa depan yang hancur, dan luka yang dalam bagi orang-orang yang menyayangi kita. Masa muda memang harus dinikmati, tapi dengan cara yang positif dan bertanggung jawab."
Bu Ratna dan Maya menangis haru mendengar pidato Sari. Mereka bangga melihat transformasi gadis yang sempat terhilang itu.
Doni, yang kini mulai menjalani rehabilitasi, juga hadir dalam acara perpisahan. Ia bertepuk tangan untuk Sari, sahabat yang telah menunjukkan jalan kembali kepadanya.
Sore itu, Sari berdiri di halaman sekolah yang sama tempat ia pertama kali bertemu Doni. Kini ia paham, bahwa setiap pilihan dalam hidup membawa konsekuensi. Dan ia bersyukur masih diberi kesempatan untuk kembali ke jalan yang benar.
Tiga bulan lalu, hidupnya masih teratur. Sari dikenal sebagai siswa berprestasi di SMA Negeri 5. Ranking lima besar, aktif di organisasi siswa, dan menjadi kebanggaan Bu Ratna, ibunya yang berprofesi sebagai guru di sekolah lain. Namun semuanya berubah sejak ia mengenal Doni.
Doni adalah siswa pindahan dari Jakarta. Gaya bicara dan penampilannya yang percaya diri langsung menarik perhatian banyak siswa, terutama para siswi. Ia sering bercerita tentang kehidupan bebas di kota besar, pesta-pesta remaja, dan pergaulan yang menurutnya "modern."
"Kamu terlalu kuno, Sari," kata Doni suatu hari ketika mereka berbincang di kantin. "Hidup itu harus dinikmati. Masa muda cuma sekali."
Awalnya Sari menolak ajakan-ajakan Doni untuk ikut ke tempat-tempat hiburan malam atau berkumpul hingga larut. Namun lama-kelamaan, kata-kata Doni mulai mempengaruhinya. Rasa ingin tahu dan takut dianggap "kampungan" membuat Sari perlahan mengikuti gaya hidup Doni.
Maya, sahabat sejak kecil, mulai menjauh. "Sari, kamu berubah," katanya dengan nada prihatin. "Aku khawatir sama kamu."
"Ah, kamu ini ketinggalan zaman, Maya. Hidup harus berani mencoba hal baru," balas Sari sambil memainkan rambutnya yang kini diwarnai pirang.
Prestasi Sari mulai menurun. Nilai-nilainya merosot, ia sering bolos sekolah, dan pulang larut malam dengan berbagai alasan. Bu Ratna yang sibuk mengajar dan mengurus rumah sendirian sejak suaminya meninggal, tidak menyadari perubahan drastis pada putrinya.
Puncaknya terjadi pada malam itu. Doni mengajak Sari ke sebuah pesta di rumah temannya. "Santai aja, cuma kumpul-kumpul biasa," katanya. Namun setibanya di sana, Sari melihat hal-hal yang membuatnya tidak nyaman. Ada minuman keras, rokok, dan tingkah laku yang melewati batas kesopanan.
"Ayo, jangan cuma diam. Ikut aja," Doni menarik tangan Sari.
Sari merasa terjebak. Hatinya menolak, namun gengsi dan takut dikucilkan membuatnya terdiam. Malam itu, ia melakukan hal-hal yang selama ini ia hindari. Pulang dini hari dengan kondisi yang tidak sadarkan diri.
Bu Ratna menunggu di ruang tamu dengan mata merah. "Sari, apa yang terjadi dengan kamu?"
Tangis histeris Sari pecah. Semua beban yang ia pendam selama ini tumpah ruah. Bu Ratna memeluk putrinya erat, ikut menangis melihat kondisi anak yang begitu disayanginya.
Keesokan harinya, Pak Hendra, guru BK, memanggil Sari ke ruangannya. Ternyata ada laporan tentang kegiatan pesta semalam dari warga sekitar.
"Sari, kamu tahu apa akibat dari pergaulan bebas ini?" tanya Pak Hendra dengan lembut namun tegas. "Prestasi hancur, masa depan terancam, kesehatan terganggu, dan yang paling penting, kamu mengecewakan orang-orang yang sayang sama kamu."
Sari terdiam. Ia teringat mimpi-mimpinya dulu untuk menjadi dokter, keinginannya membahagiakan ibunya, dan masa depan cerah yang kini tampak suram.
"Tapi tidak ada kata terlambat, Sari. Kamu masih bisa berubah. Yang penting ada kemauan dan dukungan orang-orang yang peduli."
Proses perubahan tidak mudah. Doni dan teman-temannya mengejek Sari yang kembali ke "jalan lama." Namun Maya dengan setia mendampingi sahabatnya. Bu Ratna juga mengambil cuti untuk lebih memperhatikan Sari.
"Ibu tidak menyalahkan kamu, Nak. Ibu yang salah karena kurang memperhatikan. Sekarang kita sama-sama belajar," kata Bu Ratna sambil mengusap kepala putrinya.
Perlahan, Sari mulai bangkit. Ia bergabung kembali dengan kegiatan positif di sekolah, les tambahan untuk mengejar ketertinggalan, dan mulai membangun kembala hubungan baik dengan teman-teman yang sempat ia abaikan.
Suatu hari, Sari bertemu Doni di koridor sekolah. Pemuda itu tampak pucat dan kurus.
"Sari, aku... aku sakit. Dokter bilang aku kena penyakit karena gaya hidup yang salah," kata Doni dengan suara lemah.
Sari merasakan campuran perasaan. Kasihan, namun juga bersyukur karena ia berhasil keluar dari lingkaran pergaulan yang merusak itu sebelum terlambat.
"Doni, belum terlambat untuk berubah. Aku bisa membantu kalau kamu mau," tawar Sari tulus.
Setahun kemudian, Sari berhasil lulus dengan nilai yang memuaskan dan diterima di fakultas kedokteran impiannya. Dalam pidato perpisahan sebagai perwakilan siswa, ia berkata:
"Teman-teman, pergaulan bebas mungkin terlihat menyenangkan dan modern. Tapi di balik itu, ada konsekuensi yang harus kita tanggung. Penyesalan, masa depan yang hancur, dan luka yang dalam bagi orang-orang yang menyayangi kita. Masa muda memang harus dinikmati, tapi dengan cara yang positif dan bertanggung jawab."
Bu Ratna dan Maya menangis haru mendengar pidato Sari. Mereka bangga melihat transformasi gadis yang sempat terhilang itu.
Doni, yang kini mulai menjalani rehabilitasi, juga hadir dalam acara perpisahan. Ia bertepuk tangan untuk Sari, sahabat yang telah menunjukkan jalan kembali kepadanya.
Sore itu, Sari berdiri di halaman sekolah yang sama tempat ia pertama kali bertemu Doni. Kini ia paham, bahwa setiap pilihan dalam hidup membawa konsekuensi. Dan ia bersyukur masih diberi kesempatan untuk kembali ke jalan yang benar.
Post a Comment
2. Komentar sensitif akan dihapus
3. Gunakan bahasa yang sopan dan saling menghargai perbedaan pendapat dan sudut pandang