Cerpen: Hari-hari Terakhir di Rumah Dzun Nurain
Table of Contents
Madinah, 35 Hijriah
Cahaya fajar belum sepenuhnya menyingsing ketika Usman bin Affan duduk di sudut rumahnya, membolak-balik lembaran mushaf yang telah ia susun bertahun-tahun. Jari-jari tuanya menelusuri huruf-huruf Arab yang telah dibakukan, warisan terbesar yang akan ia tinggalkan untuk umat. Di luar, suara-suara semakin keras. Bukan lagi bisikan seperti minggu-minggu sebelumnya, melainkan teriakan yang menuntut darah.Ya Amirul Mukminin," bisik Marwan bin Hakam, sekretarisnya, dengan suara bergetar. "Mereka telah mengepung rumah. Izinkan hamba mengumpulkan pasukan Bani Umayyah untuk melindungi Anda."
Usman menggeleng perlahan. Matanya yang lelah menatap halaman rumah tempat para pengepung berkemah sejak berminggu-minggu. "Tidak, Marwan. Aku tidak akan menumpahkan darah Muslim untuk diriku. Rasulullah pernah berkata kepadaku bahwa aku akan menghadapi fitnah besar, dan aku harus bersabar."
Pengepungan ini bukanlah datang tiba-tiba. Benih-benihnya telah tumbuh sejak tahun-tahun terakhir pemerintahan Usman. Dari Mesir datang Muhammad bin Abi Bakar dengan kekecewaan terhadap gubernur yang ditunjuk Usman. Dari Kufah datang Malik al-Ashtar dengan keluhan serupa. Dari Basrah, gelombang protes terhadap kebijakan yang dianggap nepotisme.
"Abdullah bin Salam pernah memperingatkanku," gumam Usman, mengingat nasihat sahabat tua itu. "Dia bilang, 'Wahai Usman, sesungguhnya engkau akan dibunuh, dan al-Quran ini akan terbuka di pangkuanmu.' Ternyata benar."
Hari-hari berlalu dalam ketegangan. Usman menolak melarikan diri melalui jalan belakang yang ditawarkan anak-anak muda Quraisy. Ia juga menolak tawaran Ali bin Abi Thalib yang mengirim Hasan dan Husein untuk menjaganya. "Cukup kalian berdiri di depan pintu," katanya kepada kedua cucu Rasulullah itu. "Jangan sampai kalian terluka karenaku."
Air di rumah mulai habis. Makanan pun menipis. Para pengepung memutus semua jalur pasokan. Namun Usman tetap tenang, menghabiskan waktu dengan membaca Quran dan berzikir. Kadang-kadang ia menengok ke arah Raudhah, makam Rasulullah yang tak jauh dari sana, seolah mencari kekuatan dari kehadiran spiritualnya.
Pada hari Jumat yang nahas itu, 18 Dzulhijjah 35 H, ketegangan mencapai puncaknya. Muhammad bin Abi Bakar, anak angkat Ali yang pernah ia sayangi, memanjat dinding rumah bersama beberapa orang. Matanya berapi-api, tangan terkepal erat.
"Wahai Muhammad," kata Usman dengan suara yang mengejutkan tetap tenang, "ayahmu Abu Bakar tidak akan ridha melihatmu seperti ini."
Sejenak Muhammad terdiam. Wajahnya memerah, antara malu dan marah. Namun Kinana bin Bisyr dan Sudhan bin Humran yang ikut bersamanya tidak memberi kesempatan untuk mundur. Mereka maju dengan pedang terhunus.
"Tunggu!" teriak Usman. "Setidaknya biarkan aku menyelesaikan ayat ini."
Ia sedang membaca Surah al-Baqarah, ayat 137: "Jika mereka beriman sebagaimana kamu beriman, maka mereka telah mendapat petunjuk. Tetapi jika mereka berpaling, maka mereka berada dalam permusuhan."
Pedang Kinana mengenai keningnya. Darah mengalir membasahi mushaf yang terbuka. Sudhan bin Humran menusuk dadanya. Muhammad bin Abi Bakar, meski tidak ikut membunuh, tidak mencegah. Dalam hitungan menit, khalifah ketiga itu menghembuskan napas terakhir di atas mushaf al-Quran.
Nailah, istri Usman, berteriak histeris. Jari-jarinya terpotong ketika berusaha melindungi suami. Darah bercampur tinta di atas lembaran suci itu, seolah menjadi saksi bisu tragedi yang akan mengoyak persatuan umat selama berabad-abad.
***
Berita kematian Usman menyebar seperti api di musim kemarau. Di Damaskus, Muawiyah bin Abi Sufyan, gubernur Syam dan sepupu Usman, mengenakan jubah berkabung. Kemeja berdarah Usman dan jari-jari terpotong Nailah dikirim kepadanya sebagai bukti. Di hadapan ribuan pasukan, Muawiyah mengangkat kemeja itu tinggi-tinggi.
"Demi Allah," serunya dengan suara bergetar, "aku tidak akan menyentuh wanita dan tidak akan mandi junub sampai menuntut darah Usman!"
Sementara itu di Madinah, situasi semakin kacau. Ali bin Abi Thalib, yang tidak terlibat dalam pembunuhan itu, menghadapi dilema berat. Para pembunuh dan pendukungnya mendesak agar ia menjadi khalifah. Namun Ali tahu bahwa menerima jabatan dalam kondisi seperti ini akan membuatnya terseret dalam pusaran fitnah.
"Aku tidak menginginkan bai'at kalian," kata Ali kepada para pembunuh Usman. "Bai'at kalian adalah bai'at yang menjijikkan."
Namun para sahabat senior memaksanya. Situasi darurat memerlukan kepemimpinan. Dengan berat hati, Ali menerima bai'at di Masjid Nabawi. Namun ia segera mengetahui bahwa tidak semua pihak menerimanya.
Thalhah dan Zubair, dua sahabat senior yang awalnya membai'at, kemudian menarik dukungan mereka. Mereka bergabung dengan Aisyah, istri Rasulullah, untuk menuntut qisas (pembalasan) atas darah Usman. "Ali harus menghukum para pembunuh terlebih dahulu," kata mereka. "Baru setelah itu kami akan mengakui kekhalifahannya sepenuhnya."
Ali berada dalam posisi sulit. Para pembunuh Usman kini menjadi bagian dari pasukannya. Menghukum mereka berarti melemahkan dirinya sendiri di tengah ancaman dari berbagai penjuru. Sementara menunda penghukuman berarti dianggap melindungi para pembunuh.
Di Mekah, Aisyah mempersiapkan pasukan. Perempuan yang disebut Ummu al-Mukminin itu naik unta dan berpidato di hadapan kaum Quraisy. Suaranya yang biasa lembut kini bergetar penuh emosi.
"Wahai kaum Quraisy! Usman telah dibunuh mazlum. Demi Allah, satu helai rambutnya lebih baik dari seluruh umat yang membunuhnya. Bangkitlah untuk menuntut darahnya!"
Berita kematian Usman menyebar seperti api di musim kemarau. Di Damaskus, Muawiyah bin Abi Sufyan, gubernur Syam dan sepupu Usman, mengenakan jubah berkabung. Kemeja berdarah Usman dan jari-jari terpotong Nailah dikirim kepadanya sebagai bukti. Di hadapan ribuan pasukan, Muawiyah mengangkat kemeja itu tinggi-tinggi.
"Demi Allah," serunya dengan suara bergetar, "aku tidak akan menyentuh wanita dan tidak akan mandi junub sampai menuntut darah Usman!"
Sementara itu di Madinah, situasi semakin kacau. Ali bin Abi Thalib, yang tidak terlibat dalam pembunuhan itu, menghadapi dilema berat. Para pembunuh dan pendukungnya mendesak agar ia menjadi khalifah. Namun Ali tahu bahwa menerima jabatan dalam kondisi seperti ini akan membuatnya terseret dalam pusaran fitnah.
"Aku tidak menginginkan bai'at kalian," kata Ali kepada para pembunuh Usman. "Bai'at kalian adalah bai'at yang menjijikkan."
Namun para sahabat senior memaksanya. Situasi darurat memerlukan kepemimpinan. Dengan berat hati, Ali menerima bai'at di Masjid Nabawi. Namun ia segera mengetahui bahwa tidak semua pihak menerimanya.
Thalhah dan Zubair, dua sahabat senior yang awalnya membai'at, kemudian menarik dukungan mereka. Mereka bergabung dengan Aisyah, istri Rasulullah, untuk menuntut qisas (pembalasan) atas darah Usman. "Ali harus menghukum para pembunuh terlebih dahulu," kata mereka. "Baru setelah itu kami akan mengakui kekhalifahannya sepenuhnya."
Ali berada dalam posisi sulit. Para pembunuh Usman kini menjadi bagian dari pasukannya. Menghukum mereka berarti melemahkan dirinya sendiri di tengah ancaman dari berbagai penjuru. Sementara menunda penghukuman berarti dianggap melindungi para pembunuh.
Di Mekah, Aisyah mempersiapkan pasukan. Perempuan yang disebut Ummu al-Mukminin itu naik unta dan berpidato di hadapan kaum Quraisy. Suaranya yang biasa lembut kini bergetar penuh emosi.
"Wahai kaum Quraisy! Usman telah dibunuh mazlum. Demi Allah, satu helai rambutnya lebih baik dari seluruh umat yang membunuhnya. Bangkitlah untuk menuntut darahnya!"
Thalhah dan Zubair memimpin pasukan ke Basrah. Mereka berharap menguasai Baitul Mal dan membangun basis kekuatan untuk menekan Ali. Namun Ali tidak tinggal diam. Ia pun berangkat dengan pasukannya, berharap dapat mencegah pertumpahan darah.
Upaya perdamaian dilakukan di luar Basrah. Ali bertemu langsung dengan Thalhah dan Zubair. "Mengapa kalian menentangku?" tanya Ali. "Bukankah kalian yang ikut membai'atku?"
"Kami tidak menentangmu sebagai khalifah," jawab Zubair. "Kami hanya menuntut qisas untuk Usman. Hukumlah para pembunuhnya, maka kami akan bersatu kembali."
"Bagaimana aku menghukum mereka sementara mereka kuat dan kita lemah?" tanya Ali. "Bersabarlah sampai negara stabil, baru kita tegakkan hukum dengan adil."
Perundingan hampir berhasil. Namun pada malam hari, kelompok-kelompok ekstrem dari kedua pihak melancarkan serangan mendadak. Mereka yang tidak menginginkan perdamaian berhasil memicu pertempuran. Fajar itu, Dzulqadah 36 H, dimulailah Perang Jamal yang memakan korban ribuan Muslim.
Dalam pertempuran itu, Thalhah terkena panah dan tewas. Zubair, yang sempat menyesal dan hendak pulang, dibunuh di tengah jalan oleh Amr bin Jurmuz. Aisyah yang berada di atas unta (jamal) menjadi sasaran serangan hingga untanya dipaksa berlutut. Ali sendiri yang melindunginya dan mengantarnya kembali ke Madinah dengan hormat.
Kemenangan di Jamal tidak menyelesaikan masalah. Di utara, Muawiyah semakin mengokohkan kekuasaannya di Syam. Ia menolak bai'at kepada Ali dan terus menuntut qisas untuk Usman. Kemeja berdarah itu masih tergantung di mimbar Masjid Damaskus, menjadi simbol penuntutan yang tak pernah berhenti.
"Serahkan para pembunuh Usman kepadaku," pesan Muawiyah kepada Ali. "Setelah itu aku akan membai'atmu."
Ali tentu saja menolak. Ia tahu bahwa menyerahkan para pendukungnya kepada Muawiyah sama dengan bunuh diri politik. Jalan menuju konfrontasi terbuka semakin tak terelakkan.
Perang Shiffin meletus tahun 37 H. Selama berbulan-bulan, dua pasukan Muslim saling berhadapan di tepi Sungai Efrat. Pertempuran sengit terjadi berhari-hari. Ammar bin Yasir, sahabat tua yang pernah disiksa kaum kafir bersama Rasulullah, tewas dalam usia 93 tahun sambil memegang pedang.
Ketika pasukan Ali hampir menang, Amr bin Ash menyarankan siasat kepada Muawiyah: "Angkat mushaf di ujung tombak!" Siasat ini berhasil. Sebagian pasukan Ali, terutama para Qari' (penghafal Quran), menolak melanjutkan pertempuran melawan mereka yang mengangkat al-Quran.
"Kita harus menyelesaikan sengketa ini dengan hukum Allah," kata mereka. Meski Ali keberatan, ia terpaksa menerima arbitrase (tahkim). Abu Musa al-Asy'ari mewakili Ali, sementara Amr bin Ash mewakili Muawiyah.
Hasil arbitrase justru merugikan Ali. Abu Musa yang lugu tertipu siasat Amr bin Ash. Ia menyatakan kedua belah pihak turun dari jabatan, namun Amr kemudian mengangkat Muawiyah sebagai khalifah yang sah. Kekacauan semakin parah.
Sebagian pengikut Ali yang semula memaksa arbitrase kini berbalik menentangnya. "La hukma illa lillah" (tidak ada hukum kecuali hukum Allah), teriak mereka. Kelompok yang kemudian dikenal sebagai Khawarij ini menganggap Ali kafir karena menerima arbitrase dengan manusia.
Perpecahan umat kini tidak lagi dua, melainkan tiga. Ali bermarkas di Kufah, Muawiyah di Damaskus, dan Khawarij berkeliaran di berbagai tempat sambil mengkafirkan semua pihak yang tidak sejalan dengan mereka.
Tragedi belum berakhir. Tahun 40 H, tiga orang Khawarij bersepakat membunuh Ali, Muawiyah, dan Amr bin Ash secara bersamaan pada hari yang sama. Mereka percaya bahwa dengan menghilangkan ketiga tokoh ini, persatuan umat akan pulih.
Abdurrahman bin Muljam berhasil membunuh Ali dengan pedang beracun ketika khalifah keempat itu sedang shalat subuh di Masjid Kufah. Sementara upaya pembunuhan terhadap Muawiyah dan Amr bin Ash gagal.
Dengan terbunuhnya Ali, dinasti Umayyah di bawah Muawiyah mengambil alih kekuasaan. Sistem khalifah yang dipilih berdasarkan syura berubah menjadi kerajaan turun-temurun. Benih-benih perpecahan yang ditanam sejak terbunuhnya Usman telah berbuah tragedi berlapis.
***
Bertahun-tahun kemudian, ketika debu fitnah mulai mengendap, para sejarawan mencoba memahami akar permasalahan. Bagaimana umat yang pernah bersatu di bawah kepemimpinan Rasulullah bisa terpecah sedemikian rupa?
Ibn Kathir dalam kitabnya mencatat bahwa Usman memang melakukan kesalahan-kesalahan kebijakan. Pengangkatan kerabat-kerabatnya sebagai gubernur menimbulkan tuduhan nepotisme. Namun kesalahan-kesalahan itu tidak layak dibayar dengan nyawa.
"Usman adalah salah seorang yang dijamin masuk surga," tulis At-Thabari. "Rasulullah menyebutnya sebagai 'Dzun Nurain' (pemilik dua cahaya) karena menikahi dua putri beliau, Ruqayyah dan Ummu Kultsum. Ia juga orang yang membiayai pasukan Tabuk dan membeli sumur Raumah untuk kepentingan umum."
Para ulama berbeda pendapat tentang siapa yang benar dalam konflik pasca-Usman. Ahlus Sunnah wal Jamaah mengambil sikap tidak menyalahkan salah satu pihak. Mereka meyakini bahwa semua yang terlibat adalah sahabat yang beritikad baik, meski berbeda dalam ijtihad politik.
"Ali lebih berhak sebagai khalifah," kata sebagian ulama. "Namun Muawiyah tidak salah menuntut qisas untuk Usman. Keduanya benar menurut pemahaman masing-masing."
Adapun kaum Syiah menyalahkan Muawiyah dan menganggap Ali sebagai imam yang sah. Sementara sebagian kalangan lain menyalahkan Ali karena dianggap melindungi para pembunuh Usman.
Yang pasti, fitnah besar ini mengajarkan bahwa kepemimpinan bukan sekadar soal hak, melainkan juga tanggung jawab yang berat. Usman, Ali, Thalhah, Zubair, Aisyah, dan Muawiyah adalah tokoh-tokoh besar yang terjebak dalam pusaran politik yang rumit. Mereka bukan malaikat yang sempurna, namun juga bukan penjahat yang patut dikutuk.
Mushaf al-Quran yang ternoda darah Usman di rumahnya hari itu kini tersimpan di perpustakaan Topkapi, Istanbul. Noda darah di sudut halaman masih terlihat jelas, menjadi saksi bisu tentang harga yang harus dibayar ketika persatuan umat terkoyak oleh ambisi politik.
Setiap kali umat Islam terpecah karena urusan duniawi, bayang-bayang fitnah kubra itu kembali menghantui. Sejarah seolah mengingatkan: bahwa yang terpenting bukanlah siapa yang memimpin, melainkan bagaimana kepemimpinan itu menjaga persatuan dan keadilan.
Wallahu a'lam bis-shawab.
Daftar Referensi
Sumber Primer Klasik
- Al-Quran al-Karim - Berbagai ayat yang dirujuk dalam narasi
- Sahih al-Bukhari - Kitab Hadis, Bab Manaqib Usman bin Affan
- Sahih Muslim - Kitab Hadis, Bab Fada'il as-Sahabah
- Sunan at-Tirmidzi- Kitab Manaqib, Bab Manaqib Usman
- At-Thabari, Abu Ja'far Muhammad ibn Jarir. Tarikh ar-Rusul wa al-Muluk (Sejarah Para Rasul dan Raja-raja). Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1407 H.
- Ibn Kathir, Ismail ibn Umar. Al-Bidayah wa an-Nihayah (Permulaan dan Akhir). Riyadh: Dar Alam al-Kutub, 1424 H.
- Al-Mas'udi, Ali ibn al-Husain. Muruj adz-Dzahab wa Ma'adin al-Jawhar (Padang Emas dan Tambang Permata). Beirut: Dar al-Andalus, 1965.
- Ibn al-Athir, Ali ibn Muhammad. Al-Kamil fi at-Tarikh (Kelengkapan dalam Sejarah). Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, 1997.
- Al-Baladhuri, Ahmad ibn Yahya. Ansab al-Ashraf (Silsilah Bangsawan). Beirut: Dar al-Fikr, 1996.
Sumber Modern - Buku
- Shaban, M.A. Islamic History: A New Interpretation. Cambridge: Cambridge University Press, 1976.
- Madelung, Wilferd. The Succession to Muhammad: A Study of the Early Caliphate. Cambridge: Cambridge University Press, 1997.
- Hinds, Martin. Studies in Early Islamic History. Princeton: Darwin Press, 1996.
- Donner, Fred M. The Early Islamic Conquests. Princeton: Princeton University Press, 1981.
- Kennedy, Hugh. The Prophet and the Age of the Caliphates. London: Longman, 2004.
Sumber Modern - Bahasa Indonesia
Jurnal Akademik
- Haikal, Muhammad Husain. Umar bin Khattab. Jakarta: Litera Antar Nusa, 2013.
- Ramadhan, Taha. Sirah Nabawiyah. Jakarta: Robbani Press, 2017.
- Shihab, M. Quraish. Wawasan Al-Quran. Bandung: Mizan, 2007.
- Syalabi, Ahmad. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1990.
Jurnal Akademik
- Crone, Patricia & Hinds, Martin. "The First Civil War," dalam God's Caliph: Religious Authority in the First Centuries of Islam. Cambridge: Cambridge University Press, 1986, hlm. 45-67.
- Landau-Tasseron, Ella. "The 'Cyclical Reform': A Study of the Mujaddid Tradition," Studia Islamica, No. 70 (1989), hlm. 79-117.
- Sijpesteijn, Petra M. "The Arab Conquest of Egypt and the Beginning of Muslim Rule," dalam Egypt in the Byzantine World, 300-700. Cambridge: Cambridge University Press, 2007, hlm. 437-459.
- Islamic History Sourcebook - Fordham University. https://sourcebooks.fordham.edu/islam/
- Encyclopaedia Britannica Online - Entri "Uthman ibn Affan" dan "First Fitna"
- Islamic City Database - University of Edinburgh. https://www.ed.ac.uk/islamic-studies
- Al-Islam.org - Koleksi digital teks-teks klasik Islam
- Islamweb.net - Fatwa dan referensi sejarah Islam
- Mushaf Usman di Perpustakaan Topkapi, Istanbul - Manuskrip dengan noda darah yang disebutkan dalam narasi
- Koleksi Manuscript Oriental - British Library, London
- Dar al-Kutub al-Misriyah - Koleksi manuskrip sejarah Islam, Kairo
Post a Comment
2. Komentar sensitif akan dihapus
3. Gunakan bahasa yang sopan dan saling menghargai perbedaan pendapat dan sudut pandang