Cerpen: Bayangan di Balik Tembok
Table of Contents
Maya menggenggam erat tali tas ranselnya ketika melangkah memasuki gerbang sekolah SMA. Pagi itu seperti pagi-pagi sebelumnya—dingin, meskipun matahari sudah mulai menyinari halaman sekolah. Bukan dingin karena cuaca, melainkan dingin yang merasuk ke dalam tulang setiap kali ia harus berhadapan dengan mereka.
"Eh, si Culun datang lagi," suara Reza menggema di koridor, diikuti kikikan beberapa teman yang mengikutinya seperti anak ayam. Maya menundukkan kepala lebih dalam, berharap bisa menghilang di antara keramaian siswa yang berlalu-lalang.
Sudah tiga bulan sejak Maya pindah dari Malang ke Jakarta. Tiga bulan yang terasa seperti tiga tahun. Semuanya bermula dari hari pertama ketika ia memperkenalkan diri dengan logat Jawa yang kental. Tawa meledak di kelas. Sejak itu, Maya menjadi sasaran empuk bagi Reza dan gengnya.
"Maya, kamu mau ikut acara kami nggak?" Sinta, salah satu pengikut Reza, mendekati Maya dengan senyum yang tidak tulus. Maya tahu ini jebakan. Selalu begitu.
"Maaf, aku ada les," jawab Maya pelan, masih menundukkan kepala.
"Les apa? Les jadi orang Jakarta?" Reza tiba-tiba muncul dari belakang, membuat Maya tersentak. "Kayaknya susah deh, Lu masih aja ngomong kayak orang desa."
Gelak tawa kembali pecah. Maya merasakan pipinya memanas, namun ia tetap diam. Pengalaman mengajarkannya bahwa melawan hanya akan membuat semuanya lebih buruk.
Di kantin, Maya duduk sendirian di pojok, memakan bekal yang dibawa dari rumah. Ia mengamati meja Reza yang selalu ramai, dikelilingi teman-teman yang tertawa keras. Kadang-kadang Maya bertanya-tanya, apakah mereka benar-benar senang, atau hanya takut menjadi seperti dirinya—target selanjutnya.
"Boleh duduk di sini?"
Maya mendongak. Seorang laki-laki berkacamata dengan rambut agak acak-acakan berdiri di sebelah kursinya, membawa nampan berisi makanan.
"Silakan," Maya menjawab ragu-ragu.
"Aku Dimas. Kelas XII IPA 2," kata laki-laki itu sambil duduk. "Kamu Maya kan? Yang dari Malang?"
Maya mengangguk, bersiap dengan ejekan yang mungkin akan datang.
"Wah, kota apel! Aku suka banget malang. Pernah main ke Batu beberapa kali," Dimas berkata dengan antusias. "Gimana rasanya pindah ke Jakarta?"
Untuk pertama kalinya dalam tiga bulan, seseorang bertanya tentang perasaannya dengan tulus. Maya merasakan sesuatu yang hangat mengalir di dadanya.
"Sulit," jawab Maya jujur. "Orang-orang di sini... berbeda."
Dimas mengangguk paham. "Aku juga dulu pernah di-bully waktu SMP. Gara-gara terlalu pendiam dan suka baca buku. Mereka bilang aku aneh."
Maya menatap Dimas dengan mata membulat. "Terus gimana?"
"Awalnya aku diam aja, kayak kamu. Tapi lama-lama aku sadar, kalau aku terus diam, mereka bakal terus nggangguin. Bukan berarti kita harus balas dengan cara yang sama, tapi kita harus berani berdiri untuk diri kita sendiri."
Percakapan mereka terpotong ketika Reza dan gengnya mendekat.
"Wih, si Culun udah punya pacar nih!" Reza berkata keras, membuat beberapa siswa menoleh. "Cocok banget deh, kutu buku sama kampungan."
Dimas berdiri perlahan. Meskipun tubuhnya tidak sebesar Reza, ada sesuatu dalam sikapnya yang membuat Maya terpukau.
"Reza, udah cukup," kata Dimas dengan suara tenang tapi tegas.
"Loh, kenapa? Lu mau jadi pahlawan?" Reza menyeringai.
"Nggak. Cuma mau ingetin aja, Maya itu punya nama. Bukan 'si Culun' atau 'kampungan'. Kalau lu punya masalah sama dia, selesaiin dengan cara yang lebih dewasa."
Keheningan menyelimuti kantin. Reza tampak terkejut dengan perlawanan yang tidak ia duga. Setelah menatap Dimas dan Maya bergantian, ia akhirnya pergi dengan wajah kesal, diikuti teman-temannya.
"Makasih," bisik Maya.
"Sama-sama. Tapi ingat, aku nggak akan selalu ada. Kamu harus belajar membela diri sendiri."
Hari-hari berikutnya, sesuatu mulai berubah. Maya masih mendapat gangguan dari Reza, tapi kini ia tidak sendirian. Dimas sering menemaninya makan siang, dan perlahan-lahan, beberapa siswa lain mulai menyapa Maya dengan ramah.
Suatu sore, ketika Maya sedang membereskan buku di kelasnya yang sudah kosong, Reza masuk sendirian. Maya merasakan jantungnya berdetak kencang.
"Lu pikir dengan ada si Dimas, gue bakal takut?" Reza mendekat dengan wajah mengancam.
Maya mundur hingga punggungnya menempel dinding. Namun kali ini, alih-alih menunduk, ia menatap mata Reza langsung.
"Aku nggak pernah nyakitin kamu, Rez," kata Maya dengan suara bergetar tapi tegas. "Kenapa kamu benci banget sama aku?"
Pertanyaan itu seperti menampar Reza. Ekspresi wajahnya berubah, dari marah menjadi... bingung?
"Lu... lu pikir gue peduli sama perasaan lu?"
"Aku nggak tahu. Tapi aku tahu, orang yang bahagia nggak akan nyakitin orang lain tanpa alasan."
Reza terdiam. Untuk sesaat, Maya melihat sekilas kerentanan di balik topeng kekerasannya.
"Lu nggak tahu apa-apa tentang gue," gumam Reza akhirnya, lalu pergi meninggalkan Maya sendirian.
Keesokan harinya, Maya mengambil keputusan besar. Ia mendatangi meja Reza saat istirahat, mengabaikan tatapan bingung dari teman-teman sekelasnya.
"Reza, bisa bicara sebentar?"
Reza mendongak dengan mata menyipit. "Mau apa lu?"
"Aku mau minta maaf."
"Ha?" Reza dan teman-temannya tampak terkejut.
"Maaf kalau kehadiranku di sini bikin kamu nggak nyaman. Tapi aku juga punya hak untuk sekolah dengan tenang di sini. Kita bisa nggak sih, setidaknya nggak saling ganggu?"
Reza menatap Maya lama. Ada pergulatan dalam matanya. Akhirnya, ia mengangguk pelan.
"Gue... gue juga minta maaf. Lo nggak pantas diperlakukan kayak gitu."
Suasana di meja itu mendadak hening. Sinta dan teman-teman Reza saling pandang dengan bingung.
Dari kejauhan, Dimas tersenyum sambil memberikan Maya dua jempol.
Bullying tidak berhenti seketika. Masih ada bisikan dan tatapan miring dari beberapa siswa. Tapi Maya kini tahu bahwa ia tidak sendirian, dan yang lebih penting, ia telah menemukan kekuatan dalam dirinya sendiri.
Tiga bulan kemudian, Maya berdiri di depan kelas untuk presentasi. Logat Jawanya masih terdengar, tapi kini ia tidak lagi malu. Bahkan ketika beberapa siswa tersenyum mendengar cara bicaranya, Maya tahu itu bukan ejekan, melainkan kekaguman terhadap keunikannya.
"Keberagaman adalah kekuatan," kata Maya mengakhiri presentasinya tentang budaya Jawa. "Bukan kelemahan."
Tepuk tangan memenuhi kelas. Di barisan belakang, Reza ikut bertepuk tangan, meskipun dengan canggung.
Setelah kelas berakhir, Maya berkemas sambil tersenyum. Bayangan di balik tembok sekolah yang dulu membuatnya takut, kini tidak lagi menghantui. Ia telah belajar bahwa kegelapan hanya bisa dikalahkan dengan menyalakan lilin—dimulai dari dalam diri sendiri.
"Maya, mau ikut makan bakso?" Dimas menghampiri dengan beberapa teman lainnya.
"Boleh! Tapi jangan heran kalau aku bilang 'enak tenan' nanti," Maya tertawa.
Dan untuk pertama kalinya sejak pindah ke Jakarta, Maya benar-benar merasa di rumah.
Post a Comment
2. Komentar sensitif akan dihapus
3. Gunakan bahasa yang sopan dan saling menghargai perbedaan pendapat dan sudut pandang