Al-Quran, Al-Hadits, dan Ijtihad Sebagai Sumber Hukum Islam

Table of Contents

Al-Quran, Al-Hadits, dan Ijtihad Sebagai Sumber Hukum Islam
sumber gambar: https://www.fiqhislam.com/

Al-Qur’an sebagai Sumber Hukum Islam

Al-Qur’an sebagai sumber yang baik dan sempurna, memiliki sifat dinamis, benar, dan mutlak. Dinamis maksudnya adalah bahwa Al-Qur’an dapat berlaku di mana saja, kapan saja, dan kepada siapa saja, karena Al-Qur’an diturunkan tidak hanya untuk umat tertentu dan juga tidak hanya berlaku pada satu zaman. Benar artinya Al-Qur’an mengandung kebenaran yang dibuktikan dengan fakta dan kejadian yang sebenarnya. Mutlak artinya Al-Qur’an tidak diragukan lagi kebenarannya serta tidak akan terbantahkan. Bahkan kejadian kejadian yang akhir-akhir mi muncul semakin membuktikan tentang kebenaran Al-Qur’an.

Al-Qur’an merupakan firman Allah Swt yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw. Secara bahasa, Al-Qur’an berarti bacaan yang membacanya termasuk ibadah.

1. Isi dan Kandungan Al-Qur’an, meliputi lima hal sebagai berikut:

  • Tauhid (pengesaan Allah Swt)

وَمَآ أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِىٓ إِلَيْهِ أَنَّهُۥ لَآ إِلَٰهَ إِلَّآ أَنَا۠ فَٱعْبُدُونِ

Artinya: Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku". (Al-Anbiya Ayat 25)

  • Ibadah (aktivitas yang menghidupkan tauhid)

وَأَقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَ ۚ وَمَا تُقَدِّمُوا۟ لِأَنفُسِكُم مِّنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِندَ ٱللَّهِ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

Artinya: Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan. (Q.S Al-Baqarah: 110)

  • Janji dan ancaman

Janji

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُوْنِيْٓ اَسْتَجِبْ لَكُمْ ۗاِنَّ الَّذِيْنَ يَسْتَكْبِرُوْنَ عَنْ عِبَادَتِيْ سَيَدْخُلُوْنَ جَهَنَّمَ دَاخِرِيْنَ 

Dan Tuhanmu berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang sombong tidak mau menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina.” (QS. Gafir [40] Ayat 60).

Ancaman

ٱلَّذِينَ يَأْكُلُونَ ٱلرِّبَوٰا۟ لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ ٱلَّذِى يَتَخَبَّطُهُ ٱلشَّيْطَٰنُ مِنَ ٱلْمَسِّ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوٓا۟ إِنَّمَا ٱلْبَيْعُ مِثْلُ ٱلرِّبَوٰا۟ ۗ وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلْبَيْعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰا۟ ۚ فَمَن جَآءَهُۥ مَوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّهِۦ فَٱنتَهَىٰ فَلَهُۥ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُۥٓ إِلَى ٱللَّهِ ۖ وَمَنْ عَادَ فَأُو۟لَٰٓئِكَ أَصْحَٰبُ ٱلنَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَٰلِدُونَ 

Artinya: Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.  (Q.S Al-Baqarah: 275)

  • Jalan mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat

Al-Qur’an banyak berisi prinsip prinsip dan aturan-aturan hukum. Diantara prinsip dan aturan hukum tadi, ada yang mengatur hubungan dengan Tuhan (hablum minAllah Swt), ada pula yang mengatur hubungan sesama manusia (hablum minannas).

  • Kisah dan cerita (kisah-kisah tentang orang-orang shalih dan ingkar atau membangkang).

2. Kedudukan dan Fungsi Al-Qur’an

Kedudukan Al-Qur’an dalam kaitannya dengan hukum Islam adalah sebagai sumber hukum yang pertama dan utama. Al-Qur’an langsung berasal dan Allah Swt. Meskipun serba ringkas, Al-Qur’an sudah memuat beraneka ragam hal tentang kehidupan, baik yang menyangkut urusan dunia maupun berhubungan dengan kehidupan di akhirat.

Al-Qur’an berfungsi sebagai pedoman kehidupan serta petunjuk bagi umat manusia. Himpunan firman Allah Swt ini berisi ajaran-ajaran pokok yang harus dipedomani segenap umat manusia yang mengandung berbagai aturan, baik itu perintah maupun larangan yang ditujukan untuk kemaslahatan serta kemanfaatan umat manusia. AI-Qur’an menjelaskan cara berhubungan dengan Allah Swt (hablum minAllah Swt) dan juga menjelaskan pedoman berhubungan dengan sesama manusia (hablum minannas).

Al-Hadits sebagai Sumber Kedua

Menurut bahasa, Al-Hadits mempunyai beberapa arti, yaitu :jaded berarti baru; qorib berarti dekat; khabar berarti berita. Menurut istilah Al-Hadits ialah segala berita yang bersumber dan Nabi Muhammad saw. balk berupa ucapan, perbuatan maupun pengakuan (taqrir) Nabi Muhammad saw. Allah Swt mewajibkan agar kita mentaati hokum hukum yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw. dan perilaku yang dicontohkan oleh beliau.

1. Kedudukan dan Fungsi Al-Hadits

Al-Hadits memiliki kedudukan sebagai sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an. Semua persoalan hukum pertama-tama dikembalikan kepada Al-Qur’an. Apabila tidak ditemukan dasar hukumnya dalam Al-Qur’an, maka dicari dalam Al-Hadits. Adapun fungsi Al-Hadits mencakup tiga hal, yaitu:

  • Sebagai pengukuh/penguat dan hukum-hukum yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an.
  • Sebagai penjelasan dan hal-hal yang sudah disebutkan Al Qur’an.
  • Sebagai penjelas hal-hal yang tidak atau belum dibicanakan dalam Al-Qur’an.

2. Macam Hadits

Ditinjau dan segi banyak atau sedikitnya jumlah orang yang meriwayatkan (sanad), Hadits terbagi menjadi dua, yaitu Hadits mutawatir dan Hadits ahad.

a. Hadits Mutawatir (berurutan/berlanjut)

Hadits mutawatir merupakan Hadits yang diriwayatkan oleh segolongan orang yang menurut kebiasaan tidak mungkin berbuat dusta. Bahkan adayangberpendapat bahwa tingkat kebenaran Hadits mutawatir sebanding dengan Al-Qun’an. Dengan kata lain, Hadits mutawatir juga shahih dan dapat dijadikan dasar hukum (hujjah). Adapun syarat-syarat sebuah Hadits mutawatir adalah sebagai berikut:

1) Mereka yang meriwayatkan dan tingkat pertama harus benar-benar mengetahui yang diberitakan dengan penglihatan/pendengaran (bukan dengan penyelidikan/perhitungan-perhitungan akal).

2) Terdapat jumlah bilangan yang sah pada tiap-tiap tingkatan, yaitu jumlah yang menurut adat kebiasaan tidak mungkin untuk berdusta.

3) Jumlah bilangan orang yang meriwayatkan tidak ada batas tertentu, tetapi yang terpenting adalah adanya pengetahuan pasti dan kabar yang diperoleh, juga kepuasan jiwa pada orang-orang yang menerimanya (tidak bersengketa mengenai kabar itu).

Contoh hadits mutawatir

و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ الْغُبَرِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ أَبِي حَصِينٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ

Artinya: “Barangsiapa berdusta atas diriku secara sengaja, hendaklah dia bersiap-siap menempati tempatnya di neraka,”.

b. Hadits Ahad

Hadits ahad merupakan Hadits yang diriwayatkan oleh beberapa orang, akan tetapi tidak mencapai derajat mutawatir. Dilihat dan segi banyak atau sedikitnya orang yang meriwayatkan, Hadits ahad dibagi menjadi tiga, yaitu :

  1. Hadits masyhur, merupakan Hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang/lebih.
  2. Hadits aziz, merupakan Hadits yang diriwayatkan oleh dua orang pada satu tingkatan, walaupun sesudah itu diriwayatkan banyak orang.
  3. Hadits gharib, merupakan Hadits yang diriwayatkan oleh orang perseorangan.
Contoh Hadits masyhur

ﻋﻦ ﺍﻠﺑﺭﺍﺀ ﺑﻦ ﻋﺎﺯﺏ ﻭﻋﻦ ﺃﺒﻴﻪ ﺭﺿﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻬﻤﺎ ﻘﺎﻞ ﺍﻤﺭﻨﺎ ﺭﺴﻮﻞ ﺍﷲ ﺼﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻳﻪ ﻮﺴﻠﻢ ﺒﺎﺘﺒﺎﻉ ﺍﻠﺠﻨﺎﺌﺯ ﻮﻋﻳﺎﺪﺓ ﺍﻠﻤﺭﻳﺽ ﻮﺗﺸﻤﻳﺖ ﺍﻠﻌﺎﻄﻰ٬ ﻮاﺟﺎﺒﺔ ﺍﻠﺪﺍﻋﻰ ﻮﻨﺼﺭﺍﻟﻤﻆﻟﻮﻢ.  ﺮﻮﺍﻩ ﺍﻟﺑﺧﺎﺮﻯ
Artinya :
Al-Bara’ ibnu A’zib dari bapaknya r.a. berkata Rasulullah saw. memerintahkan kami mengikuti jenazah, mengunjungi orang sakit, mendoakan orang bersin dan memenuhi undangan, dan menolong orang yang teraniaya.” (HR Bukhari dan Muslim)

Contoh Hadits aziz

ﻋﻦ ﺍﻨﺲ ﺮﺿﻲ ﺍﷲ ﻋﻦ ﺍﻠﻨﺒﻲ ﺼﻟﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺴﻟﻢ : ﻻ ﻴﺆﻤﻥ ﺃﺤﺩﻜﻡ ﺤﺘﻰ ﺃﻜﻮﻥ ﺍﺤﺏ ﺍﻠﻴﻪ ﻤﻥ ﻨﻔﺳﻪ ﻮﻭﺍﻠﺪﻩ ﻮﻭﻠﺪﻩ ﻮﺍﻠﻨﺎﺲ ﺍﺠﻤﻌﻴﻦ. (ﺮﻮﺍﻩ ﺍﻠﺒﺨﺎﺮﻯ ﻮﻤﺳﻠﻡ)
Artinya :
Dari Anas r.a. dari Nabi saw. : Tidaklah beriman seseorang di antara kamu, sehingga aku lebih dicintai dari pada dirinya, orang tuanya, anaknya dan semua manusia.” (HR Bukhari dan Muslim)

Contoh Hadits gharib

ﻋﻥ ﺍﺒﻰ ﻫﺭﻴﺭﺓ ﺭﻀﻰﺍﷲ ﻋﻨﻪ ﻋﻥ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺼﻠﻰﺍﷲ ﻋﻟﻴﻪ ﻭﺴﻠﻢ ، ﻘﺎﻝ ﺍﻹﻴﻤﺎﻦ ﺑﻀﻊ ﻭﺴﺗﻭﻦ ﺷﺑﻌﺔ ﻭﺍﻠﺤﻳﺎﺀ ﺷﺑﻌﺔ ﻤﻦ ﺍﻹﻳﻤﺎﻦ. ﺮﻮﺍﻩ ﺍﻠﺒﺨﺎﺮﻯ
Artinya :
Dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi saw. telah bersabda, iman itu bercabang-cabang menjadi 60 cabang dan malu itu salah satu cabang dari iman.” (HR. Bukhari)

Dari segi mutu periwayatan, Hadits ahad dibagi menjadi tiga, yaitu :

1) Hadits sahih, merupakan Hadits yang periwayatannya (sanad) tidak terputus dan awal sampai akhir dan diriwayatkan oleh orang-orang yang adil dan teliti. Periwayatan Hadits tersebut juga tidak ada keganjilan dan kecacatan. Hadits sahih ini bisa dijadikan hujjah/dasar hukum.

Contoh hadis shahih

حد ثنا عبدالله بن يوسف اخيرنامالك عن نافع عن عبد الله ان رسول الله صر قال: اذاكاتوثلاثة فلا يتنا جى اثنان دون الثالث  رواه  مسلم 

Artinya : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Yusuf, (ia berkata) telah mengabarkan kepada kami, Malik, dari Nafi, dari Abdullah bahwa Rasulullah saw. bersabda: Apabila mereka itu bertiga orang, janganlah dua orang (dari antaranya) berbisik-bisikan dengan tidak sama yang ketiganya (H.R. Muslim)

2) Hadits hasan, merupakan Hadits yang tidak terputus periwayatannya serta diriwayatkan orang-orang adil, tetapi kurang teliti (meskipun tidak mengandung keganjilan dan kecacatan). Hadits hasan ini juga bisa dijadikan sebagai hujjah/pegangan.

Contoh hadis hasan

قال الترمذى حد ثنا احمد بن منيع حدثنا هشيم عن يزيدين ابى زياد عن عيد الر حمن بن ابن ليل عن البراء بن عازب قال: قال رسول الله ص: حقا على المسلمين ان يغتسلوايوم الحمعة . رواه  الترمذي

Artinya : (Kata Turmudzi) “telah menceritakan kepada kami, Ahmad bin Mani’, telah menceritakan kepada kami Husyaim, dari Yazid bin Abi zi-yad, dari Abdurrahman bin Abi Laila, dari al-Bara’ bin Azid, ia berkata : telah bersabda Rasulullah saw: “Sesungguhnya satu kewajiban atas orang-orang Islam adalah mandi pada hari jum’at” (HR. at-Tirmizi)

3) Hadits dlaif/Hadits yang lemah, merupakan Hadits yang kurang dan tingkatan Hadits hasan.

Contoh hadis Dhaif

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِكُلِّ شَيْءٍ زَكَاةٌ وَزَكَاةُ الْجَسَدِ الصَّوْمُ , الصِّيَامُ نِصْفُ الصَّبْرِ 

Artinya: “Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Segala sesuatu itu ada zakatnya. Zakat badan adalah puasa. Puasa itu separuh kesabaran.” [HR. Ibnu Mâjah, no. 1745 lewat jalur Musa bin Ubaidah dari Jumhân dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu]

Ijtihad sebagai Metode Penetapan hukum Islam

Kata Ijtihad berasal dan kata ijtahada, yajtahidu, ijtihadan, yang berarti mengerahkan segala kemampuan. Orang yang berijtihad dinamakan mujtahid. ijtihad secara istilah berarti usaha sungguh-sungguh yang dilakukan untuk mencapai putusan hukum yang belum ada dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits.

1. Dasar-dasar Ijtihad

Ijtihad sebagai sumber hukum Islam didasarkan pada Al-Qur’an maupun Al-Hadits. Allah Swt, berfirman:

إِنَّآ أَنزَلْنَآ إِلَيْكَ ٱلْكِتَٰبَ بِٱلْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ ٱلنَّاسِ بِمَآ أَرَىٰكَ ٱللَّهُ ۚ وَلَا تَكُن لِّلْخَآئِنِينَ خَصِيمً

Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat. (QS. An-Nisa: 105)

Dalam salah satu Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Rasulullah saw., bersabda:

“Apabila hakim akan mengadili lalu ia berjtihad, kemudian dapat mencapai kebenaran, maka ia mendapat dua pahala. Apabila ia berjtihad dan tidak mencapai kebenaran, maka ia mendapat satu pahala.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

2. Macam-macam Ijtihad

Yusuf al-Qardawi membagi ijtihad menjadi dua yaitu ijtihad iintiqa’i/tarjihi dan ijtihad insya’i.

a. Ijtihad intiqa’i/Tarjihi

Merupakan ijtihad yang dilakukan oleh seseoang atau kelompok untuk memilih pendapat ahli fikih terdahulu dalam masalah tertentu, dengan menyeleksi pendapat mana yang lebih kuat dalilnya dan lebih relevan untuk kondisi terkini.

b. Ijtihad Insya’i (Ijtihad Kreatif atau Ijtihad Kolektif)

Ijtihad ini dilakukan dengan cara mengambil konklusi (kesimpulan) hukum baru dalam suatu permasalahan yang belum pernah dikemukakan oleh ulama fikih terdahulu. Pendapat baru yang dimaksud pun sama sekali berbeda dengan pendapat yang dahulu, sebab telah diupayakan berbagai pemahaman dan penelitian baru secara menyeluruh yang melibatkan berbagal ahli (ilmu pengetahuan) yang terkait. Ali HasbAllah Swt, menyebut jenis ijtihad ini sebagai ijtihad kolektif (jama’i).

Wahbah az-Zuhaili menambahkan perlunya penghayatan mendalam terhadap maqasid asy-syari’ah (tujuan syari’at dalam menetapkan hukum) di kalangan orang-orang yang terlibat dalam ijtihad insya’i. Tanpa penghayatan ini, hasil ijtihad akan melenceng dan tidak sesual dengan tujuan syari’at itu sendiri.

Judin
Judin Guru sejak saya lulus dari sarjana pendidikan tahun 2013 di UMP

Post a Comment